Sekolah Idaman_SMK Diponegoro 1 Jakarta

Arrow
Arrow
Slider

Dari Penolakan atas Full Day School hingga Keengganan Penyeragaman

Oleh Rianto Irawan

Gambar-gambar karya siswa Sekolah Talenta terpampang di dinding. Di dinding ada gambar suasana dalam laut yang penuh ikan dan kura-kura. Penuh warna dan makna. Kali ini Serrum berkunjung ke Sekolah Talenta. Sekolah Talenta merupakan sekolah yang dalam proses belajarnya banyak menggunakan metode seni rupa. Tak heran jika mengunjungi Sekoah Talenta akan ditemui gambar penuh warna di setiap temboknya.

Sekolah Talenta merupakan sekolah ketiga dalam Proyek Sekolah Idaman yang diadakan Serrum. Sekolah Talenta sendiri merupakan sekolah khusus yang di mana siswa-siswanya mengalami kesulitan belajar. Sekolah ini diselenggarakan atas prakarsa yang peduli terhadap dunia pendidikan anak-anak.

Mereka antusias mengikuti proyek Sekolah Idaman. Mengobrolkan imajinasi dan pandangan mereka mengenai sekolah. “Sekolah adalah tempat yang baik,” menurut David Hero menjawab pertanyaan dari Sigit.

Awalnya siswa mengalami kesulitan mengenai gambaran sekolah idaman yang mereka inginkan. Amy dari Serrum membantu dengan menggambarkan contoh di papan tulis mengenai sekolah idaman. Amy mencontohkan sekolah idaman adalah sekolah yang ada kolam renangnya.

Mulailah mereka berimajinasi mengenai sekolah apa yang mereka inginkan. Nicholas mengatakan dia ingin berkisah mengenai dirinya dan sekolahnya. 25 gambar dia hasilkan. Dari cerita yang bergambar itu, Nicholas secara eksplisit mengungkapkan sekolah yang ia inginkan. Nicholas bercerita mengenai pengalamnnya mendapatkan bully oleh teman di sekolah yang sebelumnya. Artinya Nicholas menginginkan sekolah No Bully. Di Sekolah Talenta ada peraturan “No Bully”. Di sekolah Talenta juga Nicholas menyukai pelajaran Matematika dan Seni Rupa. Sekolah yang baik juga menurut Nicholas tidak macet jika dilalui.

“Halaman di Sekolah Talenta bisa dijadikan tempat bermain,” kata Nicholas. Nicholas menginginkan sekolah yang halamannya luas bisa menjadi tempat bermain anak.

Sedangkan David M menginginkan sekolah memiliki dua lantai. Lantai pertama untuk digunakan kelas olahraga. Lantai dua digunakan kelas kesenian dan bermain alat musik. Di sekolah dalam imajinasinya hanya da 14 siswa untuk belajar. Mengenai seragam ia menginginkan seragam untuk upacara atau sehari-hari dan olahraga. Sekolah yang ia namakan “New School” juga mempunyai peraturan “No Bully”. Karena Bully mengakibatkan siswa tak mempunyai teman. Begitu pula yang diinginkan Vincent, di sekolahnya anak-anaknya dewasa tidak seperti anak kecil.

“Sekolah dekat dengan Kampus Atmajaya,” kata Calvin. Ia menginginkan lokasi sekolah yang ia ingikan dekat Kampus Atmajaya. Karena di sana kakaknya berkuliah.

Leonard Nathan mempunyai impian mendirikan sekolah “Garuda Fotografi School”. Sekolah ini merupakan sekolah khusus fotografi. Nathan menginginkan sekolahnya hanya berkaitan dengan fotografi saja. Di Garuda Fotografi School tidak ada pelajaran lain selain fotografi. Dalam gambarnya di kertas, Nathan menjelaskan sekolahnya ada dua ruangan. Ruangan pertama digunakan untuk kelas fotografi. Sedangkan ruangan lainnya berupa taman bebas yang luas yang dipakai untuk mencari foto. Nathan yang bercita-cita masuk universitas ini menginginkan Garuda Fotografi School hanya ada 10 guru.

“Seragam sekolah hanya batik saja,” kata Nathan.

Sekolah Talenta di mata siswa-siswanya adalah sekolah yang ideal. Sekolah Talenta menjadi cermin mereka yang menginginkan sekolah itu No Bully. Bagi Tri sebagai Kepala Sekolah mengenai pengakuan anak-anaknya itu lahir dari perasaan mereka sendiri. Sekolah menjadi tempat bermain sekaligus tempat mereka mempunyai teman.  a

Kurikulab Masuk Desa : Menelusuri Identitas Genteng Jatiwangi

cd8eb73f-ef17-4146-a324-194cea0b6b63

Oleh Rianto Irawan*

Sebuah desa memiliki identitas budaya sebagai perekat keutuhan dan kultur masyarakat di dalamnya.

Serrum memiliki kesempatan mengunjungi Desa Jatisura Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Jatiwangi merupakan daerah yang ditetapkan Serrum sebagai laboratorium yang akan dilakukan riset Kurikulab Masuk Desa. Kurikulab Masuk Desa merupakan riset pendidikan yang dilakukan di sebuah desa demi menggali kebudayaan masyarakat lokal dan membuat kurikulum pendidikan berbasis lokal yang nantinya akan dipraktikan di sekolah-sekolah.

Jatiwangi memiliki identitas budaya berupa genteng sebagai produk lokal Jatiwangi. Warga Jatiwangi tak lepas dari tanah sebagai identitas kebudayaan. Iklila selaku mantan Kepala Dusun (Kadus) ingat betul saat demo di Majalengka kala itu. Ia menginginkan genteng sebagai identitas Jatiwangi. “Melalui persaudaraan Jatiwangi, kami sepakat bahwa genteng bukan cuma komoditas tapi juga identitas,” kata Iklila

Masyarakat Jatiwangi tak lepas kehidupannya dari tanah dan genteng. Iklila berkisah mengenai masa kecilnya bagaimana genteng menjadi bagian hidupnya. “Bekal ke sekolah cukup dua genteng, “ kata Iklila.

Begitu juga dengan Pak Apih yang pernah berkisah dengannya mengenai genteng sebagai alat ukur dalam pembelian. “Dulu beli satu sak semen dengan tiga keping genteng,” meniru ucapan Pak Apih. “Beli lima rokok pun cukup dengan satu keping genteng,” lanjutnya.

Ada pula Mandor Abah Emon yang berkisah mengenai klub bola yang didirikannya di suatu pertandingan sepak bola tahun 1993-1996 antara Burujul Kulon dan Burujul Wetan. Saat itu Mandor Abah Emon mampu mendatangkan pesepakbola dari Persib. “Satu orang pemain persib seharga satu colt diesel genteng,” kata Iklila. Sekarang, satu colt diesel seharga lima jutaan.

Jatiwangi diberkahi tanah yang baik, ibaratnya kalau tanah Jatiwangi diinjak bisa jadi genteng. Keberadaan Jebor (pabrik genteng) memiliki peran dalam pengembangan masyarakat sekitar. Dengan adanya Jebor Jatiwangi memiliki dua masa panen yakni panen padi dan panen genteng. Jebor di tahun 1980-an menjadi tempat pariwisata.

“Adapun pariwisata terhebat Jatiwangi tahun 1980 – 1995,” kata Iklila, “Wisatawan domestik beli genteng sambil bawa anaknya. Orang Garut saja sudah bangga banget, kalau ke sini suami istri naik bis nanti pulang bawa genteng. Ada rasa bangga jika ada suami istri pulang bawa genteng,” lanjut Iklila.

Jebor juga memiliki kenangan bagi masa kecil Iklila. Dia ingat betul Anak-anak bisa dibawa ke jebor untuk diayun atau bermain. Berbeda dengan Garmen yang melarang anak-anak bermain di sekitarnya. Jebor menjadi ingatan dan kenangan bagi warga Jatiwangi. Anak-anak sering menghabiskan waktunya bermain di Jebor.

Iklila percaya genteng Jatiwangi adalah identitas desanya. Suatu hari ia pernah mengobrol dengan JJ Rizal, “Ngomongin arsitektur Indonesia belum lengkap tanpa ngomongin genteng Jatiwangi,” kutip Iklila.

Genteng dan jebor adalah jejak-jejak gotong-royong di desa Jatisura, Jatiwangi ini. Hidup mesti seperti genteng, nilainya dibuat dari kegotong-royongan. Kami pun membawa fotokopi buku sejarah Desa Burujul Jatiwangi (Yayasan Al-Rifadah, 1998) karangan Agil Zainudin sebagai acuan bahan riset selanjutnya. Disebutkan bahwa usaha genteng di Jatiwangi bermula dari H.Umar bin H.Ma’ruf yang mendirikan langgar dengan atap genteng. Bermula memperbaiki langgar sehingga menjadi usaha yang turun-temurun. Diketahui genteng menjadi sendi perekonomian selain bertani.

 

*Rianto Irawan adalah salah satu periset dan penulis di Serrum. Lulusan Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta ini sekarang memegang divisi publikasi dan penerbitan pada Festival Ekstrakurikulab. Pria ini aktif dalam beberapa organisasi, salah satunya adalah Lembaga Kajian Mahasiswa di kampusnya saat itu.

Sejauh mana sekolah alternatif merupakan sebuah ide alternatif?

Oleh : Kurnia Yunita & Anggar Septiadi

Pada 1818, Jossph Jacoto, seorang profesor asal Belgia diminta mahasiswanya di University of Louvain, Belgia untuk mengajar bahasa Prancis. Jacotot memang menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti matematika, hukum, ideologi, bahasa namun ia sama sekali tak mengerti soal Bahasa Prancis. Tak mau menyerah, Jacotot menjawab tantangan dari mahasiswanya.

Menggunakan sebuah novel dwibahasa Prancis dan Belgia, Jacoto membuat mahasiswanya untuk mencari kata dalam Bahasa Prancis yang paling memiliki korespondensi dengan Bahasa Belgia untuk menemukan arti, sambil membaca novel tersebut. Hingga setngah buku terbaca, Jacotot memerintahkan mahasiswanya untuk membaca novel tersebut sejak awal dan kemudian menuliskannya dalam Bahasa Belgia.

Mulanya Jacoto pesimis dengan hasil yang akan didapatkan mahasiswanya, sebab masih banyak mahasiswa yang kesulitan memahami novel tersebut, namun, di akhir pembelajaran, di luar dugaan seluruh mahasiswanya, termasuk Jacotot mampu mengerti Bahasa Prancis dengan baik melebihi ekspektasinya.

Kisah Jacoto ini ditulis oleh Jacques Ranciere dalam The Ignorant of Schoolmaster (1991). Ranciere mengilustrasikan kisah Jacotot untuk memberi gambaran bahwa seorang guru harus mentransmisikan pengetahuannya kepada siswa agar berada dalam satu level kemampuan tak selalu benar. Jacotot dan mahasiswanya memulai pelajaran bahasa Prancis dengan level yang sama: tidak mengetahui apa-apa.

Ranciere dalam The Ignorant of Schoolmaster ingin menunjukan bahwa pendidikan tak melulu berjalan secara asimeteris. Pendidik tak selamanya memiliki lebih banyak pengetahuan dibanding peserta didik. Ia menekankan bawha masih ada alternatif lain dibanding pendidikan asimetris tadi.

Bahkan lebih ekstrem, Ranciere menginginkan pendidikan berjalan secara simetris, sebab eksplanasi oleh pendidik yang mencerminkan otoritas pendidikan terhadap pengetahuan dianggap sebuah upaya pembodohan (stultification) oleh Ranciere. Eksplanasi-eksplanasi tersebut memberi batasan terhadap pemahaman peserta didik.

Jauh dari Belgia, pada 2000 Sri Wahyaningsih datang ke Yogyakarta untuk memberikan pendampingan remaja di Desa Nitiprayan dari Banjarnegara. Upaya ini dilakukan Sri karena melihat banyaknya remaja dan anak putus sekolah dan mengalami pernikahan dini. Ia memulai pendampingan dengan beberapa program pemberdayaan seperti jurnalistik, kesadaran lingkungan hidup, dan sosial budaya.

Alih-alih memberikan program pemberdayaan, Sri justru lebih banyak diminta untuk membantu pekerjaan rumah para anak dan remaja dari sekolah. Hal ini membuat program-progam yang sudah direncanakan menjadi tak optimal. Namun, di sisi lain Sri menyadari sesuatu, bahwa di sekolah murid mendapatkan pelajaran yang terlalu berat.

“Kami semakin mengetahui kalau sebenarnya yang dipelajari di SD itu bukan hal hal yang mendasar, banyak hal hal yahng sebenarnya belum saatnya diajari. Misalnya tentang kebijakan publik, tugas tugas MPR DPR,” ungkapnya.

Oleh karenanya sejak 2004, Sri memutuskan untuk membentuk sebuah sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan pengetahuan yang sesuai dengan anak dengan mendirikan Sanggar Anak Alam (Salam).

Sri bersama suami memulainya dengan mendirikan sekolah setara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak usia 2 hingga 4 tahun. Pada 2008 Salam berkembang dengan mendirikan Sekolah Dasar (SD), dan semakin lengkap dengan hadirnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2011.

Sri membangun Salam dengan asumsi bahwa ada hal yang lebih penting untuk diketahui siswa namun tidak terakomodasi oelh sekolah formal. Oleh karenany, di Salam ia mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang berbeda dengan sekolah formal.

“Karena ini kan sekolah dasar, jadi hal-hal yang mendasar seperti karakter, nilai-nilai yang harus ditanamkan dan itu tidak bisa dihapalkan harus diterapkan da ndiulang-ulang. Makanya kami melakukannya dengan eprspektif pangan, lingkungan hidup, dan sosial budaya kami mengembangkan proses pembelajaran,” papar Sri.

Melalui perspektif pangan misalnya, Salam ingin menekankan pentingnya menjaga keutuhan indonesia sebagai negara agraris. Para murid Salam diajak untuk membatasi konsumsi makanan atau bahan pangan impor. Secara sistematis Salam juga memiliki program untuk mendidik muridnya membiasakan diri mengonsumsi makanan asli Indonesia.

Di dalam pembelajrannya. Salam juga memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah formal. mata pelajaran yang diberikan tidak menjadi subjek yang berdiri sendiri,melainkan instrumen yang mendukung pembelajaran. Sebab, pembelajaran di Salam dilakukan berbasis proyek penelitian.

Misalnya, penelitian soal beternak ayam, murid diminta untuk mengamati proses dari keluarnya telur hingga penetasan dan perawatan awal anak ayam. Sedangkan mata pelajaran diberikan terkait dengan tema-tema penelitian yang ada seperti biologi soal morfologi ayam sederhana, matematika soal dosis pakan, fisika dan kimia soal mengatur suhu dan kelembapan sarana penetasan.

“Di akhir pembelajaaran nanti murid akan presentasi membuat laporan, terus kemudian juga pengumpulan dan analisa data terus membuat kesimpulan mengenai hasil penelitiannya. Presentasi itupun tidak harus dalam bentuk tulisan bisa melalui gambar, drama, dan lainnya karena tidak semua anak mau dan bisa menulis,” jelas Sri.

Setiap tahapan aktivitas yang dilakukan selama penelitian tersebut akan diamati oelh para fasilitator. Sri menyebutkan suntuk satu kelas fasilitator dan murid berbanding 1:7, sedangkan dalam satu kelas biasanya jumlah murid mencapai 15 siswa, atau satu kelas terdapat 2 fasilitator. Fasilitator akan mengevaluasi murid soal sejauh mana pemahamannya terhadap penelitian yang dilakukan, sekaligus memberi perlakuan untuk murid yang belum memahami.

“Jadi kecermatan dialog, komunikasi itu meamng mutlak. Jadi penilaiannya bukan hanya dalam artian kamu mampu mengerjakan tugas tugas, tapi juga dalam keseharian dalam kamu menghadapi masalah, dalam kamu berteman itu kami proses disini,” ujar perempuan yang akrab disapa Wayah ini.

Penelitian ini sendiri dilakukan satu hingga dua kali selama satu semester, sedangkan temanya dirembuk bersama dengan fasilitator (guru), orangtua murid, dan murid pada awal semester dimulai.

Cerita Jacoto yang ditulis oleh Ranciere dan upaya Salam memperlihatkan bahwa terdapat visi alternatif dibanding pendidikan formal yang ada. Bahwa pendidikan mampu diaplikasikan dalam beragam bentuk dan cara. Tak melulu berasal dari negara.

Selanjutnya kita mampu bertanya: mana yang lebih alternatif? Aplikasi pembelajaran Jacoto yang secara filosofis diterjemahkan Ranciere merupakan upaya membongkar pendidikan secara umum, meski dilakukan di universitas yang memiliki struktur baku atau kisah Salam yang justru membuat struktur mandiri di luar struktur pendidikan negara.

Peneliti asal Yogyakarta Antariksa menyebut bahwa sebenarnya defisini alternatif kerap menjebak selama alternatif dimaknai hanya sekadar berbeda dari mainstream atau sekolah formal bentukan negara. Sebab, termin alternatif justru jamak digunakan sebagai nilai tambah ekonomis bagi sekolah guna merasionalkan biaya sekolah yang tinggi.

“Ya kalau menurutku kata alternatif biasanya menjebak. Dahulu misalnya, pada tahun sebelum 1998 pendidikan agama islam yang diselenggarakan di kampung, di masjid masjid aku bisa menyebutnya sebagai pendidikan alternatif, karena itu berbeda dengan pendekatan dan metode yang digunakan sekolah. Tapi begitu 1998 aktivis KAMMI waktu itu yang kemudian menjadi PKS kemudian memakai model ini dimana mana, jadi sekarang kan kampung kita ini sebenarnya dikuasai oleh pendidikan islam yang model fundamentalistik,” jelas Antariksa.

Alih-alih menggunakan kata alternatif, Antariksa lebih condong melihat praktik-praktik pendidika yang dilakukan. Dibanding sekolah formal yang mengharapkan murid agar menjadi manusia yang dinginkan seusai standar, pendidikan alternatif berupaya memberdayakan siswa sesuai kemampuan individunya masing-masing.

Meski demikian, pemberdayaan yang dimaksud oleh Antariksa bukan seperti yang dilakukan NGO maupun LSM sebelum 1970-an. Dimana sebuah lembaga datang ke desa untuk memberikan sebuah pengetahuan baru yang baik bagi warga.

“Sebelumnya, pengetahuan didatangkan dari lembaga-lembaga pendidikan, kemudian turun ke bawah ke masyarakat. Nah nalarnya itu kan dibalik sebenarnya, karena kalau satu masyarakat bisa bertahan hidup demikian lamanya selama ribuan tahun, mereka pasti punya pengetahuan, nah ini yang digali secara bersama-sama dengan warga,” jelasnya.

Di Yogyakarta sendiri, Antariksa menyebutkan bahwa gagasan mengenai sekolah alternatif mampu ditelusuri dari upaya Romo Mangun membangun Sekolah di Kali Code.

Romo Mangun dan DED

Sebuah spanduk berukuran 3x1 meter membentang di tembok depan rumah di Jalan Gejayan, Gang Kuwera 14, Mrican Yogyakarta. Desainnya memang tidak terlalu menarik, hanya menampilkan latar putih yang melandasi beberapa huruf serta ornamen segitiga dengan berbagai varian warna. Meski sederhana, ia mampu menyita perhatian siapapun yang melihatnya. Bagaimana tidak, di atas spanduk itu bertuliskan sebuah pertanyaan, “ingin tahu dunia pendidikan alternatif?” Setelahnya tertera sebuah alamat situs yang barangkali memang ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. www.dinamikaedukasidasar.org.

Dinamika Edukasi Dasar (DED) merupakan sebuah yayasan pendidikan yang didirikan budayawan Y.B. Mangunwijaya di kawasan Kali Code pada 1987. Sejak awal kelahirannya, yayasan ini mengemban misi sang penggagas untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Sebuah kegiatan pendidikan yang rasanya kala itu tidak mampu diberikan oleh sekolah-sekolah negeri.

Di bawah rezim Orde Baru, saat Yayasan DED lahir, akses sekolah bagi masyarakat miskin hampir tertutup. Sekolah-sekolah negeri yang dibuka pemerintah menetapkan biaya pendidikan yang barangkali tidak terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu, seragamnya sistem dan konten pendidikan cenderung menjauhkan masyarakat dari konteks lokal tempat ia bernaung.

Mencoba meretas itu semua, Yayasan DED mengenalkan cara belajar yang sama sekali berbeda dengan apa yang disediakan pemerintah. “Sebetulnya perbedaan yang terlihat jelas adalah metode pembelajaran yang kita gunakan,” ujar pengurus Laboratorium DED, Eka Adi Sunarso. Secara terlembaga, di sekolah negeri pembelajaran berlangsung satu arah, guru mengajar dengan gaya ceramah dan murid senantiasa mendengarkan. “Kalau di Mangunan, teman-teman guru mengupayakan bagaimana agar anak lebih aktif, jadi guru hanya berperan sebagai fasilitator, pencipta kegiatan dan anak-anak yang berkegiatan,” lanjut Eka, sapaan arabnya.

Selain pendekatan active learning, Eka menambahkan, pendidikan yang dilaksanakan di atas landasan pemikiran Romo Mangun ini juga menyusun tujuh materi yang dikategorikan sebagai pembelajaran khas. “Ada membaca buku bagus, komunikasi iman, kotak pertanyaan, musik pendidikan, matematika realistik, perspektif dan majalah meja,” terang Eka seraya mengatakan seluruh pelajaran tersebut didesain agar anak dapat mencapai jiwa eksploratif, kreatif, integral dan komunikatif.

Dari ketujuh pembelajaran khas tersebut, tak satupun kandungan nilai yang mudah kita temui di sekolah milik pemerintah. Misalnya saja pengayaan materi lewat buku-buku di luar teks yang sudah dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum. Selain itu, dengan komunikasi iman, gagasan yang diterapkan di Sekolah Dasar Eksperimental Mangunan ini juga tidak menyertakan pelajaran agama dalam kegiatannya. “Jadi kita tidak mempunyai pelajaran agama, kita menggunakan komunikasi iman untuk menjembatani semua agama yang dianut anak-anak, kemudian mencoba melihat peristiwa yang dialami dan kita mencoba mengambill nila-ilai agamanya,” kata Eka.

Kemudian, lanjut Eka, anak dibiasakan untuk dapat melontarkan pertanyaan otentik dari dalam dirinya melalui kotak pertanyaan. Juga mempelajari harmonisasi hidup dari musik pendidikan dan menggali pengetahuan di lingkungan sekitar melalui materi matematika realistik. “Mangunan itu kan terletak di sebuah dusun, jadi banyak sekali sumber belajar yang bisa kita gunakan disana. Ada kolam, jadi anak bisa belajar bagaimana menyebutkan bagian-bagian dari ikan, mengukur luas kolam, mengukur volume air. Bahkan dari situ, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) nya juga kita bisa belajar seperti sumber daya alam yang ada di Mangunan itu apa saja, kemudian memunculkan profesi apa saja dan kegiatan ekonominya bagaimana,” ujar alumni Universitas Sanata Dharma itu.

“Jadi sungguh apa yang dihadapi anak konkret disitu,” tandasnya.

Mulai dari Tak Berseragam Hingga Eksklusivitas

Beberapa sekolah di Yogyakarta yang ingin mempraktikkan pendidikan di luar pola yang diberlakukan pemerintah tidak hanya bermain di arena kurikulum serta konten belajar, tapi juga ihwal pakaian. Hal tersebut tampak mencolok ketika mengunjungi sekolah Tumbuh yang berlokasi di lingkungan Jogja National Museum (JNM).

Anak-anak sekolah yang berkegiatan menggunakan pakaian bebas, anak laki-laki berambut gondrong, bukanlah pemandangan yang asing di sekolah milik menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X. “Itu merupakan bentuk akomodasi atas ekspresi anak,” ujar Andi Purnawan, guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tumbuh 2.

Menyoal kebebasan berekspresi, murid Sekolah Dasar (SD), SMP dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Tumbuh tidak hanya mendapatkannya dalam aturan pakaian sekolah tapi juga dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Andi Purnawan mengatakan, para guru membebaskan murid untuk memilih cara mereka dalam mengartikulasikan pengetahuan. “Kalau presentasi mata pelajaran itu tidak harus dalam bentuk tulisan, tapi boleh juga dengan gambar, atau bentuk yang lain sebagaimana kemampuan murid,” ungkap Andi.

Selain itu, metode evaluasi yang digunakan juga unik. Di sekolah ini, guru mesti membuat beragam jenis soal ujian sesuai dengan kapabilitas anak didik. Andi mencontohkan, bila dalam satu kelas terdapat 15 murid dengan kecendrungan akademis yang seluruhnnya berbeda, maka guru harus membuat 15 jenis soal pula. Terlebih sekolah ini menerapkan model inklusif, menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan yang lainnya dalam satu kelas.

“Pembacaan kapasitas dan kebutuhan siswa sudah dimulai sejak awal pendaftaran. Kami meminta orang tua untuk menyertakan rekam medis dan psikologis dari setiap anak,” kata Andi Purnawan.

Namun, seluruh keunikan tersebut harus dibayar mahal. Biaya pendidikan di Sekolah Tumbuh mungkin hanya terjangkau oleh kalangan tertentu saja. Meskipun sekolah ini juga mengklaim bahwa pembiayaan pendidikan dilaksanakan dengan subsidi silang. Berdasarkan keterangan Firsty Relia Renata yang hendak menyekolahkan anaknya di SD Tumbuh pada semester ganjil 2011, rincian biaya pendaftarannya sebagai berikut, Uang Pangkal Rp 7.500.000, Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) Rp 450.000, Uang Tahunan Rp 725.000 dan Uang Seragam Rp 400.000.

Peneliti Kunci Cultural Studies Centre (KCSC), Antariksa memandang, mahalnya biaya pendidikan di sekolah yang sejak mula ingin melawan konstruksi pendidikan pemerintah merupakan sebuah ironi yang membuat mereka tampil tak menarik lagi. “Jadi mereka bilang itu sekolah inklusif kan, nah sekolah inklusif yang eksklusif, karena masuknya mahal, nggak semua orang bisa masuk.” Selorohnya. “Nah itu kan ironi sebenarnya. Untuk masuk sekolah alternatif tetapi cara merekrut siswanya tidak alternatif.”

Menurut Antariksa, klaim subsidi silang yang digaungkan Sekolah Tumbuh juga nampak semu. Alasannya, proporsi antara mereka yang membayar dengan nilai yang amat tinggi dan murid yang membayar murah atau bahkan tidak mengeluarkan uang sama sekali tidak seimbang. “Menurutku, sekolah-sekolah inklusif itu kemudian melahirkan eksklusivitas baru, sekarang di Jojga ada banyak sekali yang seperti itu,” ucapnya.

Di samping perihal pembiayaan, Andi Purnawan mengaku para siswa juga kerap kesulitan untuk berbaur dengan lingkungan di luar Sekolah Tumbuh. “Anak biasanya terkaget-kaget dengan lingkungan luar yang punya norma ketat,” ungkapnya. Hal ini pula yang menjadi latar belakang mengapa Sekolah Tumbuh menyediakan semua jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga SMA, padahal awalnya hanya sebuah TK. “Jenjang selanjutnya didirikan sebab anak-anak merasa lebih cocok di lingkungan Tumbuh yang memberi kebebasan berekspresi,” lanjut Andi.

Kesulitan serupa rupanya juga dialami oleh lulusan Salam. Sri Wahyaningsih mengisahkan, akhir semester genap 2015, salah satu muridnya lulus dari Salam dan kemudian diterima di salah satu SMP Negeri di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mesti menghadapi peraturan yang mewajibkan seluruh anak perempuan muslim untuk berjilbab. “Kebetulan memang anak itu muslim, dia tidak bermasalah untuk berjilbab kalau atas kesadaran pribadi, tapi ini kan karena sekolah negeri kenapa mewajibkan untuk memakai jilbab? Itu sampai berdebat,” tutur Wahya.

Menurut Wahya, apapun keputusan yang dipilih alumni Salam tersebut pasti akan menyulitkan posisinya dalam pergaulan. “Seandainya ia tetap disana dan dengan berat hati menggunakan jilbab pasti ia akan dipandang oleh guru sebagai anak yang pantas dikucilkan dan seandainya dia diizinkan untuk tidak berjiilbab, kan passti digitukan juga,” keluh ibu dari tiga anak ini.

Bagi perempuan lulusan Akademi Keuangan dan Perbankan ini, nalar kritis yang berkembang dalam otak murid-muridnya memang memberi keuntugan dalam menganalisa serta memahami sebuah peristiwa di masyarakat, namun belum tentu hal tersebut akan mendatangkan faedah dalam pergaulan bagi murid-murid itu sendiri.

“Apakah kekritisan itu bisa membawa kenyamanan buat mereka? Nah ini kan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) berat bagi kami,” ucap Wahya.

Selama ini, Salam menyiasatinya dengan menambah komunikasi serta mempererat hubungan dengan orang tua. Untuk memberi pengertian jika anak-anak mereka nampak kesulitan untuk membaur dengan lingkungan yang atmosfernya kuat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku umum, itu bukan sebuah kesalahan.

“Untungnya orang tua itu menyadari kenapa dulu mereka menyekolahkan anak-anak mereka disini. Karena itu memang pilihan, jadi konsekuensi-konsekuensi mereka memang menyadari,” pungkasnya.

Bukan Antitesis Sekolah Pemerintah

Meski beberapa pihak mencoba mengartikulasikan pendidikan ideal yang nampak berbeda dari segi konten, metode belajar dan pembiayaan, belum berarti ada upaya radikal untuk meruntuhkan konsep sekolah yang sudah didirikan pemerintah. Buktinya pendekatan yang dilakukan dalam inisiasi penyelenggaraan pendidikan pun masih pola top down.

Menurut Antariksa, apa yang dilakukan oleh pendiri Salam sekalipun tidak dapat dikategorikan berasal dari inisiasi massa. Sebab, posisi para pendiri sanggar ini, Sri Wahyaningsih dan Toto suaminya belum tentu mencermikan posisi masyarakat pada umumnya.

“Gagasan mengenai atas dan bawah ini agak bermasalah sebenarnya, kalau kita mengatakan bawah itu masyarakat dan atas itu pemerintah, ya Salam itu muncul dari bawah karena dia muncul dari inisiatif warga, karena Mas Toto dan Mbak Wahya tinggal disitu (tempat Salam berdiri),” ungkap pendiri lembaga penelitian Kunci Cultural Studies Centre ini.

Namun, tambah Antariksa, posisi kedua pendiri Salam itu di masyarakat juga tak bisa masuk dalam kelas bawah. “Karena mereka itu kan intelektual, aktivis, mereka ppunya gagasan sendiri yang berbeda dengan orang-orang di kampungnya. Jadi kita tidak bisa menyebut sepenuhnya dari bawah.”

“Kalau bayangan kita bawah itu grass root dalam arti massa, setahuku sekolah yang muncul dari massa itu tidak ada,” ujar Antariksa.

Selama ini kecendrungan dari pendidikan yang muncul di luar pemerintah, melalui model inklusi, metode pembelajaran yang terpusat pada anak, konten belajar yang dekat dengan alam sekitar, ingin mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang setara. Sehingga model transmisi pengetahuan yang terjadi adalah secara pemberdayaan dan pertukaran.

“Seperti pendidikan yang dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) yang lebih baru dan lebih baik kan mereka sudah punya metode yang lebih canggih (dengan melakukan pemberdayaan). Jadi pemberdayaan itu bukan bagaimana aku memberikan nilai tertentu supaya kamu lebih berdaya, lebih beradab seperti aku, tapi berangkat dari bawah. Yuk kita cari tahu sama-sama sebenarnya masalah kita apa yang kita butuhkan apa. Sekarang kan modelnya begitu tuh,” jelas Antariksa.

Di tingkatan praktis, lanjut Antariksa, yang dilakukan oleh NGO hanyalah mendekati masyarakat. “Misalnya, punya gagasan untuk membuat sekolah pertukangan di Kali Code, kita belajar bagaimana mereka membangun rumah dengan bahan yang seadanya, cara yang sederhana itu bagaimana mereka bikin sambungan kayu. Kita belajar teknik tertentu kepada mereka, tapi kita juga memberikan keterampilan tertentu kepada mereka. Nah, yang ada pertukaran dan pertukaran itu bertujuan untuk menciptakan satu kondisi yang sama,” ujar lelaki yang pernah belajar di Universitas Gajah Mada ini.

Menurut lelaki yang kini aktif di komunitas seni Punkasila ini, tradisi transmisi pengetahuan secara pertukaran dan pemberdayaan itu mungkin melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh NGO di era 1970an. Dengan membalik nalar bahwa pengetahuan itu harus datang dari lembaga pendidikan kemudian turun ke masyarakat, menjadi kegiatan penggalian pengetahuan otentik masyarakat. “Karena, jika masyarakat bisa bertahan hidup sedemikian lamanya selama ribuan tahun, mereka pasti punya pengetahuan, nah ini yang digali secara bersama-sama dengan warga,” tutup Antariksa.

 

Sekilas Mengenai Kemunculan Sekolah Alternatif di Indonesia

Oleh Kurnia Yunita & Anggar Septiadi

 

Pelembagaan pendidikan di Indonesia paling tidak sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, melalui kebijakan Politik Etis yang terbit pada 1901, pemerintah kolonial mulai membuka sekolah untuk masyarakat di tanah jajahannya, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga dewasa.

Sistem pendidikan ala Politik Etis dibagi atas tiga jenis, berdasar pada pembedaan ras serta status sosial masyarakat. Yaitu sekolah untuk warga Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab) serta yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi.

Pembedaan tersebut terkait dengan kelengkapan jenjang serta konten yang diberikan dalam proses pembelajaran di masing-masing sekolah. Bagi masyarakat Eropa dan Timur Asing yang tinggal di Hindia Belanda, pemerintah kolonial menyediakan sekolah dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi yang bermuatan paling mutakhir sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.

Sedangkan masyarakat pribumi, hanya boleh menyicipi pendidikan di tingkat dasar dengan konten secukupnya. Indikator kecukupan pengetahuan mereka adalah kemampuan membaca serta menulis Bahasa Belanda, sehingga ketika lulus, dapat diandalkan sebagai pekerja administrasi pemerintah kolonial.

Meski demikian, ada beberapa pribumi yang mendapat kesempatan menuntut ilmu di sekolah-sekolah warga Eropa. Kesempatan tersebut muncul lantaran orang tua mereka punya status bangsawan atau bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Status yang terakhir disebut, ditambah pengalaman pendidikan di sekolah Eropa, nantinya mampu mengubah status sosial seseorang dari rakyat jelata menjadi priyayi.

Golongan priyayi dalam masyarakat ini kemudian memainkan peranan penting dalam sejarah pendidikan di Tanah Air. Berbekal pandangan baru ihwal kemerdekaan serta luasnya ilmu pengetahuan, mereka mulai merasakan kesenjangan yang tercipta dari sistem pendidikan ala Politik Etis.

Penggolongan pendidikan berdasarkan ras dan status sosial nampak sebagai upaya melanjutkan kesenjangan yang terdapat dalam tiap kelas masyarakat. Pada tingkatan selanjutnya, kemapanan status quo lah yang dipertahankan dan pribumi akan selamanya menjadi warga terjajah di negerinya sendiri.

Dalam konteks tersebut, beberapa kaum priyayi mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur pendidikan. Untuk itu mereka mendirikan beberapa sekolah yang memiliki ide serta metode yang bertentangan dengan sekolah resmi pemerintah Belanda. Upaya pendirian sekolah-sekolah tersebut berikutnya akan jadi fokus perbincangan kita, sebagai awal mula berdirinya sekolah alternatif di Indonesia.

Lantas, siapa saja pionir yang melakukan perjuangan lewat jalur pendidikan? Seperti apa konsep alternatif yang mereka tawarkan di sekolah yang mereka dirikan? Apakah model sekolah mereka punya peran signifikan dalam perjuagan bangsa? Beberapa pertanyaan tersebut akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

Sekolah Alternatif: Upaya Menghancur Segala Tembok Pemisah

Pada bagian ini, kita akan merinci beberapa sekolah yang didirikan oleh tokoh pergerakan nasional di awal abad ke-20. Mari memulainya dengan SI School yang didirikan oleh Tan Malaka pada 1921 di Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-anak buruh di Semarang yang tak bisa masuk ke sekolah pemerintah kolonial.

Tan Malaka, tokoh pergerakan yang memiliki latar belakang pendidikan guru ingin anak-anak miskin mampu membekali dirinya untuk menghadapi perkembangan dunia dengan ilmu pengetahuan tapi juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari SI School adalah soal pembebasan dan kemerdekaan, mulai dari tataran individu hingga bangsa.

Dalam pembukaan brosur SI School Semarang dan Onderwijs Tan Malaka menuliskan, sekolah ini tak hanya bertujuan membuat anak menjadi pintar tapi juga hendak, “bangunkan hati merdeka sebagai manusia.” Tokoh asal Minangkabau ini menambahkan, dirinya juga bercita-cita kelak para murid tidak akan lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan.

Berangkat dari tujuan besar tersebut, Tan Malaka kemudian menyusun kurikulum pendidikan yang amat berbeda dari sekolah pemerintah saat itu. Pertama, dengan memberi senjata yang cukup untuk mencari penghidupan di dunia kemodalan, dalam poin ini Tan Malaka menjelaskan materi yang mesti didapat para murid adalah berhitung, menulis, ilmu bumi serta Bahasa Belanda.

Pemberian materi Bahasa Belanda juga menjadi satu hal yang unik dilakukan kepada para murid yang seluruhnya merupakan pribumi. Menurut Tan Malaka, Bahasa Belanda penting diajarkan sebab banyak anak pribumi yang pintar namun tak bisa berbahasa Belanda. “Padahal perlawanannya ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekai kita ajarkan betul bahasa itu,” jelas penulis buku Madilog itu.

Poin kedua dalam kurikulum SI School adalah memberi hak murid yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan. Sebagai seorang guru, Tan Malaka tahu betul betapa pentingnya bermain bagi anak-anak. Ia begitu paham bahwa anak punya hak untuk merasakan kegembiraan dengan bermain bersama sebayanya. Oleh karena itu, hak tersebut tidak boleh dibatasi oleh jam belajar di sekolah yang begitu padat.

Ketiga, menunjukkan kewajiban kelak kepada berjuta-juta kaum kromo. Hal ini diwujudkan dengan mewajibkan murid untuk senantiasa ikut serta dalam kegiatan rapat organisasi (vereniging) Sarekat Islam. Selain dapat pergaulan yang luas, kegiatan ini juga mampu mengasah kesadaran politik para siswa. Sebab dalam vereniging, seluruh anggota akan menyampaikan situasi paling baru mengenai nasib rakyat.

Pada saat itu, kualitas pendidikan SI School terbilang sangat maju sehingga dalam waktu beberapa bulan saja permintaan pembukaan SI School di beberapa daerah lain begitu banyak. Namun, upaya pemerdekaan jiwa setiap anak miskin ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Lewat berbagai media massa, pihaknya menulis kritik untuk SI School. Selain itu, pemerintah juga melakukan penjegalan terhadap kegiatan “pasar derma” yang dilakukan murid-murid SI School untuk mengumpulkan donasi masyarakat untuk biaya keberlangsungan sekolah mereka.

Hambatan terhadap laju roda SI School mencapai titik kulminasi ketika 1922, pemerintah kolonial memutuskan untuk memberikan hukuman pengasingan kepada Tan Malaka. Tokoh progresif yang hidup lajang hingga akhir hayatnya ini dibuang ke Belanda. Bersamaan dengan itupula, SI School mesti ditutup.

Selanjutnya, mari kita bahas sekolah lain yang punya gagasan menentang mainstream pendidikan Belanda, yakni Taman Siswa.

Suwardi Suryaningrat atau yang lebih populer dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 1922. Penamaan sekolah yang terbuka bagi seluruh buimputera ini terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin membatasi lingkungan belajar dengan tembok-tembok yang kaku serta hubungan antara guru dan murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik sebagai istilah maupun dalam bentuk fisiknya.

Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang memiliki visi memerdekakan jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka dengan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga banyak terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk menjadikan murid sebagai subjek dan guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu prinsip yang paling terkenal diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah “guru harus menghamba kepada anak”.

Selain itu upaya pemerdekaan jiwa anak didik yang dilakukan Ki Hajar Dewantara mewujud pada tidak adanya konsep hukuman bagi para siswa yang melakukan kesalahan. Ki Hajar menekankan, hukuman tidak dapat membuat jera siswa yang bersalah justru akan menanamkan rasa dendam lantaran mereka terlanjur menanggung malu untuk dihukum di hadapan kelas. Ia mencontohkan, bagi siswa yang telat datang ke kelas, ia tak perlu dihukum untuk berdiri sepanjang pelajaran berlangsung atau menulis kesalahannya hingga puluhan kali di atas kertas, melainkan diberi tambahan waktu belajar usai kelas berakhir.

Dengan model pendidikan tersebut, jumlah peminat Taman Siswa pun meningkat dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan ini tidak membuat hati pemerintah kolonial Belanda tenang. Mereka mengkhawatirkan terdapat infiltrasi gagasan-gagasan kemerdekaan di tubuh bumiputera semakin meluas.

Untuk mencegahnya, pada 1932 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (Wildescholen Ordonantie). Dalam peraturan ini, seseorang atau lembaga yang hendak melangsungkan pendidikan mesti mendapat izin dari pemerintah. Selain itu, kegiatan pembelajaran khususnya para guru juga mesti dilaporkan secara rinci. Sehingga bila terdapat kegiatan yang melenceng, sekolah akan segera ditutup dan gurunya akan dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau membayar denda sebesar 25 gulden.

Namun, Ki Hajar Dewantara tidak bergeming melihat peraturan tersebut. Ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge untuk menentang Ordonansi Sekolah Liar dan mengancam akan melakukan pembangkangan bila ketentuan tersebut tidak dicabut.

Isi telegram tersebut kemudian diterbitkan pada majalah Timboel, 6 November 1932. Dalam telegram tersebut Ki Hajar mengatakan, “Excellentie! Ordonantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan… Bolehlah sadja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’ berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib memangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja.”

Meski ordonansi tersebut tetap dilaksanakan Taman Siswa terus berkembang ke luar Jawa Tengah. Menurut catatan Frances Souda dalam Dutch Cultures Overseas hingga September 1932 Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan perkiraan jumlah murid 11.000 orang di seluruh Jawa.

Sekolah liar ini begitu diminati lantaran keadaan ekonomi dunia pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an mengakibatkan adanya pemotongan subsidi pemerintah untuk pendidikan. Akibatnya, biaya sekolah tinggi dan banyak orang di Hindia Belanda menyekolahkan anaknya di sekolah liar.

Tokoh pergerakan lain yang memiliki gagasan perlawanan terhadap sistem persekolahan Belanda adalah Haji Agus Salim. Pimpinan Sarekat Islam ini menolak sistem pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak membuka aksesnya kepada setiap warga bumiputera dengan mendirikan sekolah rumah untuk anak-anaknya.

Moehammad Roem dalam 100 Tahun Agus Salim menjelaskan, tokoh asal Minangkabau itu memberikan pendidikan bagi anak-anaknya sedari lahir dengan menyediakan ruang belajar dan bermain di rumah tanpa dibatasi waktu. “Anak-anak itu tidak sekolah tetapi pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus,” tulis Roem.

Menurut Roem, sekolah yang didirikan oleh Belanda bagi kaum pribumi hanya bertujuan mendapatkan tenaga kerja murah serta menciptakna watak tunduk kepada segala perintah mereka. Masalah tersebut bisa dipecahkan dengan model pendidikan yang dilakukan Agus Salim. Model ini pun bukan dilaksanakan secara spontan melainkan didasarkan pada prinsip Agus Salim bahwa setiap orang harus dapat mandiri menghidupi dirinya sendiri agar dapat memimpin rakyat tanpa bantuan penjajah.

Definisi

Dari paparan historis sebelumnya, kita tak bisa memungkiri bahwa penyelenggaraan pendidikan ada di dalam konteks sosio ekonomi politik yang lebih luas baik di tingkat lokal maupun global. Sementara keberadaan sekolah mainstream (formal) pun sudah menunjukkan dirinya sebagai wadah yang akan menempatkan para peserta didiknya ke dalam struktur status quo. Sedangkan pendidikan alternatif, menawarkan beberapa cita-cita dan kemungkinan yang berbeda dari itu semua.

Beberapa kelompok yang mencoba membuat pendidikan alternatif memulai dengan memperkenalkan metode yang berbeda secara radikal dengan sekolah kebanyakan. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki tujuan yang tidak terukur dengan ujian atau tes tertulis yang biasa dilakukan di sekolah yaitu proses pemanusiaan yang utuh.

Oleh karena itu, biasanya sekolah alternatif memfokuskan kegiatannya dalam beberapa hal seperti keterkaitan pembelajaran dengan masyarakat setempat, kesadaran untuk memelihara alam, seni dan kerajinan tangan, keterampilan hidup serta keterbukaan akses pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Pembelajaran yang dilaksanakan sesuai pengalaman, kreativitas, seluruhnya dibina secara khusus karena prinsipnya setiap anak punya kemampuan serta kebutuhan yang berbeda.

Yang terpenting, pendidikan alternatif hadir karena ada ketidakpuasan dengan sekolah-sekolah mainstream.

Menurut Sarojini Vittachi dalam Alternative Schooling in India memang tidak ada definisi yang ajeg mengenai sekolah alternatif. Namun, sebuah sekolah secara umum dapat dikategorikan sebagai non-tradisional atau non-konvensional bila memiliki satu dari beberapa ciri berikut:

  1. PENDEKATAN yang digunakan lebih individual daripada sekolah pada umumnya. Tidak ada satu model ajeg yang digunakan sepanjang pembelajaran, sehingga pendekatan yang digunakan nampak selalu menentang apa yang sudah mapan.
  2. PENGHORMATAN kepada anak didik dilakukan sesuai dengan diri mereka sendiri, bukan berdasar pada latar belakang sosial ekonomi orang tua, atau kemampuan khusus para peserta didik. Suasana belajar justru dibangun dalam lingkungan yang terintegrasi antaranak yang punya beragam kemampuan, latar belakang sosial dan ekonomi dan seringkali gabungan dari peserta didik yang usianya beragam.
  3. PEMBELAJARAN dilakukan berdasarkan pengalaman ketertarikan anak didik lalu diperdalam dengan beragam materi, bukan dilakukan menggunakan buku teks atau hanya mendengarkan kuliah dari para guru.
  4. DISIPLIN ILMU yang saling silang namun berhubungan. Melalui hal ini, anak didik akan mengetahui batas-batas pengetahuan serta memahami hubungan beragam disiplin ilmu yang dipelajari.
  5. UKURAN KELAS dijaga agar tetap kecil. Dalam sekollah alternative,idealnya guru tidak mengajar anak didik lebih dari 25-30 anak perkelas.
  6. STRUKTUR KELAS dibuat dengan fleksibilitas umur maupun subjek yang dipelajari. Pengertian kelas juga tidak selalu berarti sebuah ruang yang rapat dibatasi oleh tembok-tembok, bisa saja pembelajaran berlangsung di alam bebas.
  7. ADMINISTRASI dilaksanakan dalam suasana yang demokratis dan aturan yang fleksibel. Model ini memungkinkan adanya perputaran tanggung jawab, adanya pengambilan keputusan melalui consensus dan musyawarah untuk kebaikan institusi.
  8. EVALUASI metode-metode yang digunakan dieksplorasi dalam berbagai bentuk, tidak selamanya bersandar pada ujian konvensional.
  9. AFILIASI dengan lembaga terkenal. Sekolah-sekolah alternative biasanya berusaha untuk mengeksplorasi topic-topik serta silabus baru yang umumnya tidak berkaitan langsung dengan ujian resmi pemerintah. Meski demikian, tidak berarti beberapa sekolah itu tidak menyiapkan anak didik mereka untuk bisa mengikuti ujian resmi pemerintah untuk melengkapi proses persekolahan serta memasuki perguruan tinggi.
  10. TINGKAT KESUKSESAN bukan hanya dinilai dari penampilan anak didik di berbagai kompetisi, ujian dan beragam studi banding. Keluaran pendidikan mereka adalah gabungan antara parameter-parameter yang mampu diukur dan tidak mampu diukur.

 

Hakikat dan Tujuan Sekolah

Oleh Rianto

Sekolah bisa mengundang ingatan akan kurikulum, metode, guru, dan siswa yang belajar. Obrolan mengenai sekolah ini dilakukan dengan kepala sekolah, pegiat pendidikan, pengelola sekolah. Mereka-mereka yang terlibat dalam pembentukan sebuah ruang belajar. Focus Group Discusion 2 (FGD) membuka ingatan akan ruang, rumah, dan makna belajar. Bandung Mawardi pengelola Bilik Literasi dalam suatu diskusi menilai rumah sekaligus tempat berkumpul bagi mereka yang ingin sinau. Sinau adalah belajar. Dan yang berdatangan di situ, berhak mengganggap dirinya sebagai siswa, sebagai guru, sebagai tamu, atau sebagai orang yang memiliki rumah.

                        Berawal dari ingatan-ingatan berdasarkan bacaan-bacan lawas dan biografi dari orang-orang di zaman kolonial Bandung berkisah mengenai peran pendidikan di zaman kolonial. Menurut Bandung sekolah yang dicipta sejak kedatangan orang-orang asing di Indonesia mulai mengurangi pengertian-pengertian rumah, kebermaknaan keluarga. Cara mereka hidup, mereka beramah-tamah, ketertiban struktur hidup, pengetahuan dibentuk oleh institusi, mengandung pamrih-pamrih untuk bisa menjadi pegawai kolonial. Menjadi orang yang berwawasan dunia, atau orang-orang yang nantinya akan memiliki jenjang sosial di atas.

 

Di zaman Orde Baru lagu bisa menjadi cermin pengertian sekolah. Misalnya lagu yang berlirik “Oh ibu dan ayah, selamat pagi, ku pergi ke sekolah” mengandung pengertian si anak meninggalkan rumah sebagai dalih belajar. Artinya sekolah telah menghancurkan makna rumah sebagai ruang belajar. Bandung mengungkapkan, “Kalau mereka sudah keluar dari rumah, bukan sekedar pengertian tempat, tetapi juga maknawiah, maka mereka berisiko untuk kehilangan segala hal. Kehilangan dirinya, kehilangan sejarahnya, kehilangan biografinya. Di sekolah mereka disuruh belajar, menghadapi buku pelajaran, bertemu dengan orang-orang dengan julukan bapak guru dan ibu guru”.

 

Tia yang mengelola sekolah untuk anak di bawah 12 tahun menganggap rumah sebagai tempat ideal si anak belajar. Namun sekolah juga bisa menggantikan peran rumah. Sekolah menjadi tempat belajar dan tumbuh kembang si anak. Orang tua mesti berperan aktif dalam pengembangan anak dengan hadir dan menemani anak dalam belajar. Guru menjadi teman orang tua dalam pengembangan anak. Sekolah menjadi tempat di mana anak mengeksplorasi diri dlaam pengalaman-pengalaman. Di Sekolah Kembang yang dikelola Tia pun anak-anak menyiram tanaman. Siswa-siswanya terkadang hanya memiliki pot saja di rumah. Di sekolah siswa mengenal tanaman-tanaman bersama guru. Tia menjelaskan, “Jadi belajar adalah guru dan anak-anak sama-sama ingin tahu tentang sesuatu, mencari tahu tentang sesuatu, dan berbagi tentang apa yang mereka tahu itu”. Bagi Marda sekolah adalah bagian alternatif untuk anak belajar. Anak mempunyai pilihan untuk dapat belajar dengan siapa dan di mana. Anak mempunyai kebebasan dalam hal belajar.

 

Sekolah dibentuk karena diyakini mempunyai peran. Yuli yang bergiat di sekolah Talenta yakni sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus menganggap sekolah memang dibutuhkan. Yuli dan orang tua siswa membuat sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dan kesulitan belajar. Di sekolah talenta anak-anak dibentuk sikap dan perilakunya. Mereka biasa diberikan metode visual seperti gambar dan video untuk mengenal sikap di masyarakat.

Dalam belajar pun siswa memiliki pilihan untuk mengikuti pelajaran yang disukai. Di Sekolah umum banyak sekali mata pelajaran. Sebab itu Marda mendirikan sekolah khusus seni Erudio Art of School (ESOA). Walaupun basisnya seni ESOA ingin menjadi sekolah yang menyenangkan. Membuat bahagia siswa. Ada seorang anak yang nilainya jelek di sekolah umum karena sering menggambar. Bahkan tidak lagi dibelikan buku gambar dan mereka menggambar di buku tulis. Sekolah menjadi tempat di mana siswa dikembangkan sesuai bakat dan keinginannya.

Di Bilik Literasi Bandung Mawardi menemukan hakikat belajar adalah bahagia. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan belajar dan menulis. Mereka saling berbahagia berbagi tulisan dan buku. Hakikatnya belajar adalah dengan membaca buku. Sayangnya membaca buku menjadi kegiatan yang dianggap sulit dan membosankan. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan berkelakar menulis adalah kehormatan terakhir.

Perbincangan persoalan tujuan sekolah sepertinya memang tak sama. Pelbagai sekolah dan tempat belajar lainnya membuka ruang bagi siapa saja yang ingin merasakan makna

Guru dan Metode Mengajar yang Berbeda

Oleh Rianto Irawan

 

Aditya Nugraha mungkin beruntung bisa mencintai pelajaran Fisika. Fisika yang dianggap salah satu pelajaran yamg sulit dan membosankan. Karena guru yang menyenangkan ia yang kini pengajar private fisika pun menyenangi pelajaran ini. Dan mengajarkan dengan gembira. Guru yang menyenangkan selalu menjadi impian. Guru berhadapan dengan siswa yang selalu menganggap pelajaran seperti fisika merupakan pelajaran yang membosankan.

Aditya saat itu ingin mengetahui mengapa siswa-siswanya menggambarkan apa itu Fisika.  Ia pun memberikan tugas dengan siswa menuliskan pngalamannya dalam bentuk puisi maupun cerita pendek. Hasilnya siswa mengekspesikan tentang pengalaman pelajaran fisika. Guru menjadi lebih tahu tentang pengalaman belajar si siswa.Guru hadir menjadi teman yang memberikan inspirasi dalam belajar yang menyenangkan.

Pengalaman Aditya sebagai guru itu dikisahkan dalam Focus Group Discusion 1 (FGD) yang diadakan Serrum. Mengumpulkan guru-guru kreatif dan merangkum kisah dalam menjadi guru dalam ingatan mengajar.Semua ini dilakukan Serrum sebagai suatu cara dalam merangkum pertanyaan mengapa Guru mesti kreatif?

Guru adalah cermin kreatif dalam mengajar. Bagi Agus Sampuno yang memiliki web gurukreatif.com persoalan kreatif bukan hanya milik orang seni. Guru hadir menjadikan siswa menyenangkan pelajaran. Guru ibarat Schafholding. Guru tak hanya berkaitan dengan transfer ilmu saja. Ibarat tangga guru mesti menjadi pijakan yang kuat bagi siswa dalam mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang utuh dalam belajar. Agus selalu membagi kelasnya dengan pendekatan siswa yang introvert dan ekstrovert. Dari sana guru akan mengalami dan mengetahui kepribadian anak dalam belajar. Guru diajarkan jangan langsung mengambil sikap marah saat siswa berisik. Karena ada kemampuan yag dibutuhkan bagi siswaekstrovet dalam presentasi dan public speaking yang dibutuhkan dalam pengembangan belajar.

Guru yang menyenangkan akan ditunggu siswa-siswa. Darwono yang kini pengajar di Sekolah Diponegoro mengatakan guru seperti artis. Guru bisa tampil di mana pun. Guru harus mempunyai kesan dekat dengan siswa. Filosopi pendidikan “Mengubah arang menjadi berlian” adalah hal yang dipercayai Darwono. Sayangnya, pendidikan yang dimotori kurikulum 2013 tidak banyak perubahan siginifikan. Dilihat dari buku paket, Darwono menilai konten, metode, dan pendekatan tak lengkap.

Cintra seorang guru kimia yang baru mengajar private selama tiga tahun mempunyai pengalaman guru yang mendengarkan curhat siswa-siswanya. Cintra berkisah mengenai dirinya yang mengajar anak-anak les yang susah sekali dalam pendekatan belajar. Ia pun mendengarkan curhat siswa-siswanya.Cintra pun tahu mengenai kesukaan dan ketidaksukaan muridnya dalam pelajaran. Lalu mencatatnya di kertas. Dari sana  ia belajar mengenal si siswa.

Saat mengajar PPL, Cintra menerapkan bahwa pelajaran kimia dekat dengan kehidupan sehari-hari.  Saat istirahat anak-anak yang membeli makanan, dibuatnya agar jangan membuang bungkus makanantersebut. Tetapi dibawa ke dalam kelas. Di sana Cintra menerangkan zat yang terdapat di komposisi makanan yang tertera dalam bungkus makanan tersebut.  

Handoko dalam FGD mengingatkan saat seorang guru menginginkan siswa mempunyai pola pikir Out of the box, sebetulnya gurulah yang pertama kali yang mempunyai pola pikir out of the box. Bagi Handoko Guru yang mempunyai pola pikir out of the box terbiasa dengan metode apapun. Artinya kreatifitas guru akan terbuka karena terbiasa dan menerima metode apapun. Dalam FGD 1 metode  dirasakan guru perlu dalam memecahkan persoalan dalam belajar siswa.