Kurikulab Masuk Desa : Menelusuri Identitas Genteng Jatiwangi

cd8eb73f-ef17-4146-a324-194cea0b6b63

Oleh Rianto Irawan*

Sebuah desa memiliki identitas budaya sebagai perekat keutuhan dan kultur masyarakat di dalamnya.

Serrum memiliki kesempatan mengunjungi Desa Jatisura Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Jatiwangi merupakan daerah yang ditetapkan Serrum sebagai laboratorium yang akan dilakukan riset Kurikulab Masuk Desa. Kurikulab Masuk Desa merupakan riset pendidikan yang dilakukan di sebuah desa demi menggali kebudayaan masyarakat lokal dan membuat kurikulum pendidikan berbasis lokal yang nantinya akan dipraktikan di sekolah-sekolah.

Jatiwangi memiliki identitas budaya berupa genteng sebagai produk lokal Jatiwangi. Warga Jatiwangi tak lepas dari tanah sebagai identitas kebudayaan. Iklila selaku mantan Kepala Dusun (Kadus) ingat betul saat demo di Majalengka kala itu. Ia menginginkan genteng sebagai identitas Jatiwangi. “Melalui persaudaraan Jatiwangi, kami sepakat bahwa genteng bukan cuma komoditas tapi juga identitas,” kata Iklila

Masyarakat Jatiwangi tak lepas kehidupannya dari tanah dan genteng. Iklila berkisah mengenai masa kecilnya bagaimana genteng menjadi bagian hidupnya. “Bekal ke sekolah cukup dua genteng, “ kata Iklila.

Begitu juga dengan Pak Apih yang pernah berkisah dengannya mengenai genteng sebagai alat ukur dalam pembelian. “Dulu beli satu sak semen dengan tiga keping genteng,” meniru ucapan Pak Apih. “Beli lima rokok pun cukup dengan satu keping genteng,” lanjutnya.

Ada pula Mandor Abah Emon yang berkisah mengenai klub bola yang didirikannya di suatu pertandingan sepak bola tahun 1993-1996 antara Burujul Kulon dan Burujul Wetan. Saat itu Mandor Abah Emon mampu mendatangkan pesepakbola dari Persib. “Satu orang pemain persib seharga satu colt diesel genteng,” kata Iklila. Sekarang, satu colt diesel seharga lima jutaan.

Jatiwangi diberkahi tanah yang baik, ibaratnya kalau tanah Jatiwangi diinjak bisa jadi genteng. Keberadaan Jebor (pabrik genteng) memiliki peran dalam pengembangan masyarakat sekitar. Dengan adanya Jebor Jatiwangi memiliki dua masa panen yakni panen padi dan panen genteng. Jebor di tahun 1980-an menjadi tempat pariwisata.

“Adapun pariwisata terhebat Jatiwangi tahun 1980 – 1995,” kata Iklila, “Wisatawan domestik beli genteng sambil bawa anaknya. Orang Garut saja sudah bangga banget, kalau ke sini suami istri naik bis nanti pulang bawa genteng. Ada rasa bangga jika ada suami istri pulang bawa genteng,” lanjut Iklila.

Jebor juga memiliki kenangan bagi masa kecil Iklila. Dia ingat betul Anak-anak bisa dibawa ke jebor untuk diayun atau bermain. Berbeda dengan Garmen yang melarang anak-anak bermain di sekitarnya. Jebor menjadi ingatan dan kenangan bagi warga Jatiwangi. Anak-anak sering menghabiskan waktunya bermain di Jebor.

Iklila percaya genteng Jatiwangi adalah identitas desanya. Suatu hari ia pernah mengobrol dengan JJ Rizal, “Ngomongin arsitektur Indonesia belum lengkap tanpa ngomongin genteng Jatiwangi,” kutip Iklila.

Genteng dan jebor adalah jejak-jejak gotong-royong di desa Jatisura, Jatiwangi ini. Hidup mesti seperti genteng, nilainya dibuat dari kegotong-royongan. Kami pun membawa fotokopi buku sejarah Desa Burujul Jatiwangi (Yayasan Al-Rifadah, 1998) karangan Agil Zainudin sebagai acuan bahan riset selanjutnya. Disebutkan bahwa usaha genteng di Jatiwangi bermula dari H.Umar bin H.Ma’ruf yang mendirikan langgar dengan atap genteng. Bermula memperbaiki langgar sehingga menjadi usaha yang turun-temurun. Diketahui genteng menjadi sendi perekonomian selain bertani.

 

*Rianto Irawan adalah salah satu periset dan penulis di Serrum. Lulusan Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta ini sekarang memegang divisi publikasi dan penerbitan pada Festival Ekstrakurikulab. Pria ini aktif dalam beberapa organisasi, salah satunya adalah Lembaga Kajian Mahasiswa di kampusnya saat itu.

Hakikat dan Tujuan Sekolah

Oleh Rianto

Sekolah bisa mengundang ingatan akan kurikulum, metode, guru, dan siswa yang belajar. Obrolan mengenai sekolah ini dilakukan dengan kepala sekolah, pegiat pendidikan, pengelola sekolah. Mereka-mereka yang terlibat dalam pembentukan sebuah ruang belajar. Focus Group Discusion 2 (FGD) membuka ingatan akan ruang, rumah, dan makna belajar. Bandung Mawardi pengelola Bilik Literasi dalam suatu diskusi menilai rumah sekaligus tempat berkumpul bagi mereka yang ingin sinau. Sinau adalah belajar. Dan yang berdatangan di situ, berhak mengganggap dirinya sebagai siswa, sebagai guru, sebagai tamu, atau sebagai orang yang memiliki rumah.

                        Berawal dari ingatan-ingatan berdasarkan bacaan-bacan lawas dan biografi dari orang-orang di zaman kolonial Bandung berkisah mengenai peran pendidikan di zaman kolonial. Menurut Bandung sekolah yang dicipta sejak kedatangan orang-orang asing di Indonesia mulai mengurangi pengertian-pengertian rumah, kebermaknaan keluarga. Cara mereka hidup, mereka beramah-tamah, ketertiban struktur hidup, pengetahuan dibentuk oleh institusi, mengandung pamrih-pamrih untuk bisa menjadi pegawai kolonial. Menjadi orang yang berwawasan dunia, atau orang-orang yang nantinya akan memiliki jenjang sosial di atas.

 

Di zaman Orde Baru lagu bisa menjadi cermin pengertian sekolah. Misalnya lagu yang berlirik “Oh ibu dan ayah, selamat pagi, ku pergi ke sekolah” mengandung pengertian si anak meninggalkan rumah sebagai dalih belajar. Artinya sekolah telah menghancurkan makna rumah sebagai ruang belajar. Bandung mengungkapkan, “Kalau mereka sudah keluar dari rumah, bukan sekedar pengertian tempat, tetapi juga maknawiah, maka mereka berisiko untuk kehilangan segala hal. Kehilangan dirinya, kehilangan sejarahnya, kehilangan biografinya. Di sekolah mereka disuruh belajar, menghadapi buku pelajaran, bertemu dengan orang-orang dengan julukan bapak guru dan ibu guru”.

 

Tia yang mengelola sekolah untuk anak di bawah 12 tahun menganggap rumah sebagai tempat ideal si anak belajar. Namun sekolah juga bisa menggantikan peran rumah. Sekolah menjadi tempat belajar dan tumbuh kembang si anak. Orang tua mesti berperan aktif dalam pengembangan anak dengan hadir dan menemani anak dalam belajar. Guru menjadi teman orang tua dalam pengembangan anak. Sekolah menjadi tempat di mana anak mengeksplorasi diri dlaam pengalaman-pengalaman. Di Sekolah Kembang yang dikelola Tia pun anak-anak menyiram tanaman. Siswa-siswanya terkadang hanya memiliki pot saja di rumah. Di sekolah siswa mengenal tanaman-tanaman bersama guru. Tia menjelaskan, “Jadi belajar adalah guru dan anak-anak sama-sama ingin tahu tentang sesuatu, mencari tahu tentang sesuatu, dan berbagi tentang apa yang mereka tahu itu”. Bagi Marda sekolah adalah bagian alternatif untuk anak belajar. Anak mempunyai pilihan untuk dapat belajar dengan siapa dan di mana. Anak mempunyai kebebasan dalam hal belajar.

 

Sekolah dibentuk karena diyakini mempunyai peran. Yuli yang bergiat di sekolah Talenta yakni sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus menganggap sekolah memang dibutuhkan. Yuli dan orang tua siswa membuat sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dan kesulitan belajar. Di sekolah talenta anak-anak dibentuk sikap dan perilakunya. Mereka biasa diberikan metode visual seperti gambar dan video untuk mengenal sikap di masyarakat.

Dalam belajar pun siswa memiliki pilihan untuk mengikuti pelajaran yang disukai. Di Sekolah umum banyak sekali mata pelajaran. Sebab itu Marda mendirikan sekolah khusus seni Erudio Art of School (ESOA). Walaupun basisnya seni ESOA ingin menjadi sekolah yang menyenangkan. Membuat bahagia siswa. Ada seorang anak yang nilainya jelek di sekolah umum karena sering menggambar. Bahkan tidak lagi dibelikan buku gambar dan mereka menggambar di buku tulis. Sekolah menjadi tempat di mana siswa dikembangkan sesuai bakat dan keinginannya.

Di Bilik Literasi Bandung Mawardi menemukan hakikat belajar adalah bahagia. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan belajar dan menulis. Mereka saling berbahagia berbagi tulisan dan buku. Hakikatnya belajar adalah dengan membaca buku. Sayangnya membaca buku menjadi kegiatan yang dianggap sulit dan membosankan. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan berkelakar menulis adalah kehormatan terakhir.

Perbincangan persoalan tujuan sekolah sepertinya memang tak sama. Pelbagai sekolah dan tempat belajar lainnya membuka ruang bagi siapa saja yang ingin merasakan makna

Guru dan Metode Mengajar yang Berbeda

Oleh Rianto Irawan

 

Aditya Nugraha mungkin beruntung bisa mencintai pelajaran Fisika. Fisika yang dianggap salah satu pelajaran yamg sulit dan membosankan. Karena guru yang menyenangkan ia yang kini pengajar private fisika pun menyenangi pelajaran ini. Dan mengajarkan dengan gembira. Guru yang menyenangkan selalu menjadi impian. Guru berhadapan dengan siswa yang selalu menganggap pelajaran seperti fisika merupakan pelajaran yang membosankan.

Aditya saat itu ingin mengetahui mengapa siswa-siswanya menggambarkan apa itu Fisika.  Ia pun memberikan tugas dengan siswa menuliskan pngalamannya dalam bentuk puisi maupun cerita pendek. Hasilnya siswa mengekspesikan tentang pengalaman pelajaran fisika. Guru menjadi lebih tahu tentang pengalaman belajar si siswa.Guru hadir menjadi teman yang memberikan inspirasi dalam belajar yang menyenangkan.

Pengalaman Aditya sebagai guru itu dikisahkan dalam Focus Group Discusion 1 (FGD) yang diadakan Serrum. Mengumpulkan guru-guru kreatif dan merangkum kisah dalam menjadi guru dalam ingatan mengajar.Semua ini dilakukan Serrum sebagai suatu cara dalam merangkum pertanyaan mengapa Guru mesti kreatif?

Guru adalah cermin kreatif dalam mengajar. Bagi Agus Sampuno yang memiliki web gurukreatif.com persoalan kreatif bukan hanya milik orang seni. Guru hadir menjadikan siswa menyenangkan pelajaran. Guru ibarat Schafholding. Guru tak hanya berkaitan dengan transfer ilmu saja. Ibarat tangga guru mesti menjadi pijakan yang kuat bagi siswa dalam mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang utuh dalam belajar. Agus selalu membagi kelasnya dengan pendekatan siswa yang introvert dan ekstrovert. Dari sana guru akan mengalami dan mengetahui kepribadian anak dalam belajar. Guru diajarkan jangan langsung mengambil sikap marah saat siswa berisik. Karena ada kemampuan yag dibutuhkan bagi siswaekstrovet dalam presentasi dan public speaking yang dibutuhkan dalam pengembangan belajar.

Guru yang menyenangkan akan ditunggu siswa-siswa. Darwono yang kini pengajar di Sekolah Diponegoro mengatakan guru seperti artis. Guru bisa tampil di mana pun. Guru harus mempunyai kesan dekat dengan siswa. Filosopi pendidikan “Mengubah arang menjadi berlian” adalah hal yang dipercayai Darwono. Sayangnya, pendidikan yang dimotori kurikulum 2013 tidak banyak perubahan siginifikan. Dilihat dari buku paket, Darwono menilai konten, metode, dan pendekatan tak lengkap.

Cintra seorang guru kimia yang baru mengajar private selama tiga tahun mempunyai pengalaman guru yang mendengarkan curhat siswa-siswanya. Cintra berkisah mengenai dirinya yang mengajar anak-anak les yang susah sekali dalam pendekatan belajar. Ia pun mendengarkan curhat siswa-siswanya.Cintra pun tahu mengenai kesukaan dan ketidaksukaan muridnya dalam pelajaran. Lalu mencatatnya di kertas. Dari sana  ia belajar mengenal si siswa.

Saat mengajar PPL, Cintra menerapkan bahwa pelajaran kimia dekat dengan kehidupan sehari-hari.  Saat istirahat anak-anak yang membeli makanan, dibuatnya agar jangan membuang bungkus makanantersebut. Tetapi dibawa ke dalam kelas. Di sana Cintra menerangkan zat yang terdapat di komposisi makanan yang tertera dalam bungkus makanan tersebut.  

Handoko dalam FGD mengingatkan saat seorang guru menginginkan siswa mempunyai pola pikir Out of the box, sebetulnya gurulah yang pertama kali yang mempunyai pola pikir out of the box. Bagi Handoko Guru yang mempunyai pola pikir out of the box terbiasa dengan metode apapun. Artinya kreatifitas guru akan terbuka karena terbiasa dan menerima metode apapun. Dalam FGD 1 metode  dirasakan guru perlu dalam memecahkan persoalan dalam belajar siswa.