Sejauh mana sekolah alternatif merupakan sebuah ide alternatif?

Oleh : Kurnia Yunita & Anggar Septiadi

Pada 1818, Jossph Jacoto, seorang profesor asal Belgia diminta mahasiswanya di University of Louvain, Belgia untuk mengajar bahasa Prancis. Jacotot memang menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti matematika, hukum, ideologi, bahasa namun ia sama sekali tak mengerti soal Bahasa Prancis. Tak mau menyerah, Jacotot menjawab tantangan dari mahasiswanya.

Menggunakan sebuah novel dwibahasa Prancis dan Belgia, Jacoto membuat mahasiswanya untuk mencari kata dalam Bahasa Prancis yang paling memiliki korespondensi dengan Bahasa Belgia untuk menemukan arti, sambil membaca novel tersebut. Hingga setngah buku terbaca, Jacotot memerintahkan mahasiswanya untuk membaca novel tersebut sejak awal dan kemudian menuliskannya dalam Bahasa Belgia.

Mulanya Jacoto pesimis dengan hasil yang akan didapatkan mahasiswanya, sebab masih banyak mahasiswa yang kesulitan memahami novel tersebut, namun, di akhir pembelajaran, di luar dugaan seluruh mahasiswanya, termasuk Jacotot mampu mengerti Bahasa Prancis dengan baik melebihi ekspektasinya.

Kisah Jacoto ini ditulis oleh Jacques Ranciere dalam The Ignorant of Schoolmaster (1991). Ranciere mengilustrasikan kisah Jacotot untuk memberi gambaran bahwa seorang guru harus mentransmisikan pengetahuannya kepada siswa agar berada dalam satu level kemampuan tak selalu benar. Jacotot dan mahasiswanya memulai pelajaran bahasa Prancis dengan level yang sama: tidak mengetahui apa-apa.

Ranciere dalam The Ignorant of Schoolmaster ingin menunjukan bahwa pendidikan tak melulu berjalan secara asimeteris. Pendidik tak selamanya memiliki lebih banyak pengetahuan dibanding peserta didik. Ia menekankan bawha masih ada alternatif lain dibanding pendidikan asimetris tadi.

Bahkan lebih ekstrem, Ranciere menginginkan pendidikan berjalan secara simetris, sebab eksplanasi oleh pendidik yang mencerminkan otoritas pendidikan terhadap pengetahuan dianggap sebuah upaya pembodohan (stultification) oleh Ranciere. Eksplanasi-eksplanasi tersebut memberi batasan terhadap pemahaman peserta didik.

Jauh dari Belgia, pada 2000 Sri Wahyaningsih datang ke Yogyakarta untuk memberikan pendampingan remaja di Desa Nitiprayan dari Banjarnegara. Upaya ini dilakukan Sri karena melihat banyaknya remaja dan anak putus sekolah dan mengalami pernikahan dini. Ia memulai pendampingan dengan beberapa program pemberdayaan seperti jurnalistik, kesadaran lingkungan hidup, dan sosial budaya.

Alih-alih memberikan program pemberdayaan, Sri justru lebih banyak diminta untuk membantu pekerjaan rumah para anak dan remaja dari sekolah. Hal ini membuat program-progam yang sudah direncanakan menjadi tak optimal. Namun, di sisi lain Sri menyadari sesuatu, bahwa di sekolah murid mendapatkan pelajaran yang terlalu berat.

“Kami semakin mengetahui kalau sebenarnya yang dipelajari di SD itu bukan hal hal yang mendasar, banyak hal hal yahng sebenarnya belum saatnya diajari. Misalnya tentang kebijakan publik, tugas tugas MPR DPR,” ungkapnya.

Oleh karenanya sejak 2004, Sri memutuskan untuk membentuk sebuah sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan pengetahuan yang sesuai dengan anak dengan mendirikan Sanggar Anak Alam (Salam).

Sri bersama suami memulainya dengan mendirikan sekolah setara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak usia 2 hingga 4 tahun. Pada 2008 Salam berkembang dengan mendirikan Sekolah Dasar (SD), dan semakin lengkap dengan hadirnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2011.

Sri membangun Salam dengan asumsi bahwa ada hal yang lebih penting untuk diketahui siswa namun tidak terakomodasi oelh sekolah formal. Oleh karenany, di Salam ia mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang berbeda dengan sekolah formal.

“Karena ini kan sekolah dasar, jadi hal-hal yang mendasar seperti karakter, nilai-nilai yang harus ditanamkan dan itu tidak bisa dihapalkan harus diterapkan da ndiulang-ulang. Makanya kami melakukannya dengan eprspektif pangan, lingkungan hidup, dan sosial budaya kami mengembangkan proses pembelajaran,” papar Sri.

Melalui perspektif pangan misalnya, Salam ingin menekankan pentingnya menjaga keutuhan indonesia sebagai negara agraris. Para murid Salam diajak untuk membatasi konsumsi makanan atau bahan pangan impor. Secara sistematis Salam juga memiliki program untuk mendidik muridnya membiasakan diri mengonsumsi makanan asli Indonesia.

Di dalam pembelajrannya. Salam juga memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah formal. mata pelajaran yang diberikan tidak menjadi subjek yang berdiri sendiri,melainkan instrumen yang mendukung pembelajaran. Sebab, pembelajaran di Salam dilakukan berbasis proyek penelitian.

Misalnya, penelitian soal beternak ayam, murid diminta untuk mengamati proses dari keluarnya telur hingga penetasan dan perawatan awal anak ayam. Sedangkan mata pelajaran diberikan terkait dengan tema-tema penelitian yang ada seperti biologi soal morfologi ayam sederhana, matematika soal dosis pakan, fisika dan kimia soal mengatur suhu dan kelembapan sarana penetasan.

“Di akhir pembelajaaran nanti murid akan presentasi membuat laporan, terus kemudian juga pengumpulan dan analisa data terus membuat kesimpulan mengenai hasil penelitiannya. Presentasi itupun tidak harus dalam bentuk tulisan bisa melalui gambar, drama, dan lainnya karena tidak semua anak mau dan bisa menulis,” jelas Sri.

Setiap tahapan aktivitas yang dilakukan selama penelitian tersebut akan diamati oelh para fasilitator. Sri menyebutkan suntuk satu kelas fasilitator dan murid berbanding 1:7, sedangkan dalam satu kelas biasanya jumlah murid mencapai 15 siswa, atau satu kelas terdapat 2 fasilitator. Fasilitator akan mengevaluasi murid soal sejauh mana pemahamannya terhadap penelitian yang dilakukan, sekaligus memberi perlakuan untuk murid yang belum memahami.

“Jadi kecermatan dialog, komunikasi itu meamng mutlak. Jadi penilaiannya bukan hanya dalam artian kamu mampu mengerjakan tugas tugas, tapi juga dalam keseharian dalam kamu menghadapi masalah, dalam kamu berteman itu kami proses disini,” ujar perempuan yang akrab disapa Wayah ini.

Penelitian ini sendiri dilakukan satu hingga dua kali selama satu semester, sedangkan temanya dirembuk bersama dengan fasilitator (guru), orangtua murid, dan murid pada awal semester dimulai.

Cerita Jacoto yang ditulis oleh Ranciere dan upaya Salam memperlihatkan bahwa terdapat visi alternatif dibanding pendidikan formal yang ada. Bahwa pendidikan mampu diaplikasikan dalam beragam bentuk dan cara. Tak melulu berasal dari negara.

Selanjutnya kita mampu bertanya: mana yang lebih alternatif? Aplikasi pembelajaran Jacoto yang secara filosofis diterjemahkan Ranciere merupakan upaya membongkar pendidikan secara umum, meski dilakukan di universitas yang memiliki struktur baku atau kisah Salam yang justru membuat struktur mandiri di luar struktur pendidikan negara.

Peneliti asal Yogyakarta Antariksa menyebut bahwa sebenarnya defisini alternatif kerap menjebak selama alternatif dimaknai hanya sekadar berbeda dari mainstream atau sekolah formal bentukan negara. Sebab, termin alternatif justru jamak digunakan sebagai nilai tambah ekonomis bagi sekolah guna merasionalkan biaya sekolah yang tinggi.

“Ya kalau menurutku kata alternatif biasanya menjebak. Dahulu misalnya, pada tahun sebelum 1998 pendidikan agama islam yang diselenggarakan di kampung, di masjid masjid aku bisa menyebutnya sebagai pendidikan alternatif, karena itu berbeda dengan pendekatan dan metode yang digunakan sekolah. Tapi begitu 1998 aktivis KAMMI waktu itu yang kemudian menjadi PKS kemudian memakai model ini dimana mana, jadi sekarang kan kampung kita ini sebenarnya dikuasai oleh pendidikan islam yang model fundamentalistik,” jelas Antariksa.

Alih-alih menggunakan kata alternatif, Antariksa lebih condong melihat praktik-praktik pendidika yang dilakukan. Dibanding sekolah formal yang mengharapkan murid agar menjadi manusia yang dinginkan seusai standar, pendidikan alternatif berupaya memberdayakan siswa sesuai kemampuan individunya masing-masing.

Meski demikian, pemberdayaan yang dimaksud oleh Antariksa bukan seperti yang dilakukan NGO maupun LSM sebelum 1970-an. Dimana sebuah lembaga datang ke desa untuk memberikan sebuah pengetahuan baru yang baik bagi warga.

“Sebelumnya, pengetahuan didatangkan dari lembaga-lembaga pendidikan, kemudian turun ke bawah ke masyarakat. Nah nalarnya itu kan dibalik sebenarnya, karena kalau satu masyarakat bisa bertahan hidup demikian lamanya selama ribuan tahun, mereka pasti punya pengetahuan, nah ini yang digali secara bersama-sama dengan warga,” jelasnya.

Di Yogyakarta sendiri, Antariksa menyebutkan bahwa gagasan mengenai sekolah alternatif mampu ditelusuri dari upaya Romo Mangun membangun Sekolah di Kali Code.

Romo Mangun dan DED

Sebuah spanduk berukuran 3x1 meter membentang di tembok depan rumah di Jalan Gejayan, Gang Kuwera 14, Mrican Yogyakarta. Desainnya memang tidak terlalu menarik, hanya menampilkan latar putih yang melandasi beberapa huruf serta ornamen segitiga dengan berbagai varian warna. Meski sederhana, ia mampu menyita perhatian siapapun yang melihatnya. Bagaimana tidak, di atas spanduk itu bertuliskan sebuah pertanyaan, “ingin tahu dunia pendidikan alternatif?” Setelahnya tertera sebuah alamat situs yang barangkali memang ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. www.dinamikaedukasidasar.org.

Dinamika Edukasi Dasar (DED) merupakan sebuah yayasan pendidikan yang didirikan budayawan Y.B. Mangunwijaya di kawasan Kali Code pada 1987. Sejak awal kelahirannya, yayasan ini mengemban misi sang penggagas untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Sebuah kegiatan pendidikan yang rasanya kala itu tidak mampu diberikan oleh sekolah-sekolah negeri.

Di bawah rezim Orde Baru, saat Yayasan DED lahir, akses sekolah bagi masyarakat miskin hampir tertutup. Sekolah-sekolah negeri yang dibuka pemerintah menetapkan biaya pendidikan yang barangkali tidak terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu, seragamnya sistem dan konten pendidikan cenderung menjauhkan masyarakat dari konteks lokal tempat ia bernaung.

Mencoba meretas itu semua, Yayasan DED mengenalkan cara belajar yang sama sekali berbeda dengan apa yang disediakan pemerintah. “Sebetulnya perbedaan yang terlihat jelas adalah metode pembelajaran yang kita gunakan,” ujar pengurus Laboratorium DED, Eka Adi Sunarso. Secara terlembaga, di sekolah negeri pembelajaran berlangsung satu arah, guru mengajar dengan gaya ceramah dan murid senantiasa mendengarkan. “Kalau di Mangunan, teman-teman guru mengupayakan bagaimana agar anak lebih aktif, jadi guru hanya berperan sebagai fasilitator, pencipta kegiatan dan anak-anak yang berkegiatan,” lanjut Eka, sapaan arabnya.

Selain pendekatan active learning, Eka menambahkan, pendidikan yang dilaksanakan di atas landasan pemikiran Romo Mangun ini juga menyusun tujuh materi yang dikategorikan sebagai pembelajaran khas. “Ada membaca buku bagus, komunikasi iman, kotak pertanyaan, musik pendidikan, matematika realistik, perspektif dan majalah meja,” terang Eka seraya mengatakan seluruh pelajaran tersebut didesain agar anak dapat mencapai jiwa eksploratif, kreatif, integral dan komunikatif.

Dari ketujuh pembelajaran khas tersebut, tak satupun kandungan nilai yang mudah kita temui di sekolah milik pemerintah. Misalnya saja pengayaan materi lewat buku-buku di luar teks yang sudah dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum. Selain itu, dengan komunikasi iman, gagasan yang diterapkan di Sekolah Dasar Eksperimental Mangunan ini juga tidak menyertakan pelajaran agama dalam kegiatannya. “Jadi kita tidak mempunyai pelajaran agama, kita menggunakan komunikasi iman untuk menjembatani semua agama yang dianut anak-anak, kemudian mencoba melihat peristiwa yang dialami dan kita mencoba mengambill nila-ilai agamanya,” kata Eka.

Kemudian, lanjut Eka, anak dibiasakan untuk dapat melontarkan pertanyaan otentik dari dalam dirinya melalui kotak pertanyaan. Juga mempelajari harmonisasi hidup dari musik pendidikan dan menggali pengetahuan di lingkungan sekitar melalui materi matematika realistik. “Mangunan itu kan terletak di sebuah dusun, jadi banyak sekali sumber belajar yang bisa kita gunakan disana. Ada kolam, jadi anak bisa belajar bagaimana menyebutkan bagian-bagian dari ikan, mengukur luas kolam, mengukur volume air. Bahkan dari situ, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) nya juga kita bisa belajar seperti sumber daya alam yang ada di Mangunan itu apa saja, kemudian memunculkan profesi apa saja dan kegiatan ekonominya bagaimana,” ujar alumni Universitas Sanata Dharma itu.

“Jadi sungguh apa yang dihadapi anak konkret disitu,” tandasnya.

Mulai dari Tak Berseragam Hingga Eksklusivitas

Beberapa sekolah di Yogyakarta yang ingin mempraktikkan pendidikan di luar pola yang diberlakukan pemerintah tidak hanya bermain di arena kurikulum serta konten belajar, tapi juga ihwal pakaian. Hal tersebut tampak mencolok ketika mengunjungi sekolah Tumbuh yang berlokasi di lingkungan Jogja National Museum (JNM).

Anak-anak sekolah yang berkegiatan menggunakan pakaian bebas, anak laki-laki berambut gondrong, bukanlah pemandangan yang asing di sekolah milik menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X. “Itu merupakan bentuk akomodasi atas ekspresi anak,” ujar Andi Purnawan, guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tumbuh 2.

Menyoal kebebasan berekspresi, murid Sekolah Dasar (SD), SMP dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Tumbuh tidak hanya mendapatkannya dalam aturan pakaian sekolah tapi juga dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Andi Purnawan mengatakan, para guru membebaskan murid untuk memilih cara mereka dalam mengartikulasikan pengetahuan. “Kalau presentasi mata pelajaran itu tidak harus dalam bentuk tulisan, tapi boleh juga dengan gambar, atau bentuk yang lain sebagaimana kemampuan murid,” ungkap Andi.

Selain itu, metode evaluasi yang digunakan juga unik. Di sekolah ini, guru mesti membuat beragam jenis soal ujian sesuai dengan kapabilitas anak didik. Andi mencontohkan, bila dalam satu kelas terdapat 15 murid dengan kecendrungan akademis yang seluruhnnya berbeda, maka guru harus membuat 15 jenis soal pula. Terlebih sekolah ini menerapkan model inklusif, menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan yang lainnya dalam satu kelas.

“Pembacaan kapasitas dan kebutuhan siswa sudah dimulai sejak awal pendaftaran. Kami meminta orang tua untuk menyertakan rekam medis dan psikologis dari setiap anak,” kata Andi Purnawan.

Namun, seluruh keunikan tersebut harus dibayar mahal. Biaya pendidikan di Sekolah Tumbuh mungkin hanya terjangkau oleh kalangan tertentu saja. Meskipun sekolah ini juga mengklaim bahwa pembiayaan pendidikan dilaksanakan dengan subsidi silang. Berdasarkan keterangan Firsty Relia Renata yang hendak menyekolahkan anaknya di SD Tumbuh pada semester ganjil 2011, rincian biaya pendaftarannya sebagai berikut, Uang Pangkal Rp 7.500.000, Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) Rp 450.000, Uang Tahunan Rp 725.000 dan Uang Seragam Rp 400.000.

Peneliti Kunci Cultural Studies Centre (KCSC), Antariksa memandang, mahalnya biaya pendidikan di sekolah yang sejak mula ingin melawan konstruksi pendidikan pemerintah merupakan sebuah ironi yang membuat mereka tampil tak menarik lagi. “Jadi mereka bilang itu sekolah inklusif kan, nah sekolah inklusif yang eksklusif, karena masuknya mahal, nggak semua orang bisa masuk.” Selorohnya. “Nah itu kan ironi sebenarnya. Untuk masuk sekolah alternatif tetapi cara merekrut siswanya tidak alternatif.”

Menurut Antariksa, klaim subsidi silang yang digaungkan Sekolah Tumbuh juga nampak semu. Alasannya, proporsi antara mereka yang membayar dengan nilai yang amat tinggi dan murid yang membayar murah atau bahkan tidak mengeluarkan uang sama sekali tidak seimbang. “Menurutku, sekolah-sekolah inklusif itu kemudian melahirkan eksklusivitas baru, sekarang di Jojga ada banyak sekali yang seperti itu,” ucapnya.

Di samping perihal pembiayaan, Andi Purnawan mengaku para siswa juga kerap kesulitan untuk berbaur dengan lingkungan di luar Sekolah Tumbuh. “Anak biasanya terkaget-kaget dengan lingkungan luar yang punya norma ketat,” ungkapnya. Hal ini pula yang menjadi latar belakang mengapa Sekolah Tumbuh menyediakan semua jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga SMA, padahal awalnya hanya sebuah TK. “Jenjang selanjutnya didirikan sebab anak-anak merasa lebih cocok di lingkungan Tumbuh yang memberi kebebasan berekspresi,” lanjut Andi.

Kesulitan serupa rupanya juga dialami oleh lulusan Salam. Sri Wahyaningsih mengisahkan, akhir semester genap 2015, salah satu muridnya lulus dari Salam dan kemudian diterima di salah satu SMP Negeri di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mesti menghadapi peraturan yang mewajibkan seluruh anak perempuan muslim untuk berjilbab. “Kebetulan memang anak itu muslim, dia tidak bermasalah untuk berjilbab kalau atas kesadaran pribadi, tapi ini kan karena sekolah negeri kenapa mewajibkan untuk memakai jilbab? Itu sampai berdebat,” tutur Wahya.

Menurut Wahya, apapun keputusan yang dipilih alumni Salam tersebut pasti akan menyulitkan posisinya dalam pergaulan. “Seandainya ia tetap disana dan dengan berat hati menggunakan jilbab pasti ia akan dipandang oleh guru sebagai anak yang pantas dikucilkan dan seandainya dia diizinkan untuk tidak berjiilbab, kan passti digitukan juga,” keluh ibu dari tiga anak ini.

Bagi perempuan lulusan Akademi Keuangan dan Perbankan ini, nalar kritis yang berkembang dalam otak murid-muridnya memang memberi keuntugan dalam menganalisa serta memahami sebuah peristiwa di masyarakat, namun belum tentu hal tersebut akan mendatangkan faedah dalam pergaulan bagi murid-murid itu sendiri.

“Apakah kekritisan itu bisa membawa kenyamanan buat mereka? Nah ini kan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) berat bagi kami,” ucap Wahya.

Selama ini, Salam menyiasatinya dengan menambah komunikasi serta mempererat hubungan dengan orang tua. Untuk memberi pengertian jika anak-anak mereka nampak kesulitan untuk membaur dengan lingkungan yang atmosfernya kuat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku umum, itu bukan sebuah kesalahan.

“Untungnya orang tua itu menyadari kenapa dulu mereka menyekolahkan anak-anak mereka disini. Karena itu memang pilihan, jadi konsekuensi-konsekuensi mereka memang menyadari,” pungkasnya.

Bukan Antitesis Sekolah Pemerintah

Meski beberapa pihak mencoba mengartikulasikan pendidikan ideal yang nampak berbeda dari segi konten, metode belajar dan pembiayaan, belum berarti ada upaya radikal untuk meruntuhkan konsep sekolah yang sudah didirikan pemerintah. Buktinya pendekatan yang dilakukan dalam inisiasi penyelenggaraan pendidikan pun masih pola top down.

Menurut Antariksa, apa yang dilakukan oleh pendiri Salam sekalipun tidak dapat dikategorikan berasal dari inisiasi massa. Sebab, posisi para pendiri sanggar ini, Sri Wahyaningsih dan Toto suaminya belum tentu mencermikan posisi masyarakat pada umumnya.

“Gagasan mengenai atas dan bawah ini agak bermasalah sebenarnya, kalau kita mengatakan bawah itu masyarakat dan atas itu pemerintah, ya Salam itu muncul dari bawah karena dia muncul dari inisiatif warga, karena Mas Toto dan Mbak Wahya tinggal disitu (tempat Salam berdiri),” ungkap pendiri lembaga penelitian Kunci Cultural Studies Centre ini.

Namun, tambah Antariksa, posisi kedua pendiri Salam itu di masyarakat juga tak bisa masuk dalam kelas bawah. “Karena mereka itu kan intelektual, aktivis, mereka ppunya gagasan sendiri yang berbeda dengan orang-orang di kampungnya. Jadi kita tidak bisa menyebut sepenuhnya dari bawah.”

“Kalau bayangan kita bawah itu grass root dalam arti massa, setahuku sekolah yang muncul dari massa itu tidak ada,” ujar Antariksa.

Selama ini kecendrungan dari pendidikan yang muncul di luar pemerintah, melalui model inklusi, metode pembelajaran yang terpusat pada anak, konten belajar yang dekat dengan alam sekitar, ingin mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang setara. Sehingga model transmisi pengetahuan yang terjadi adalah secara pemberdayaan dan pertukaran.

“Seperti pendidikan yang dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) yang lebih baru dan lebih baik kan mereka sudah punya metode yang lebih canggih (dengan melakukan pemberdayaan). Jadi pemberdayaan itu bukan bagaimana aku memberikan nilai tertentu supaya kamu lebih berdaya, lebih beradab seperti aku, tapi berangkat dari bawah. Yuk kita cari tahu sama-sama sebenarnya masalah kita apa yang kita butuhkan apa. Sekarang kan modelnya begitu tuh,” jelas Antariksa.

Di tingkatan praktis, lanjut Antariksa, yang dilakukan oleh NGO hanyalah mendekati masyarakat. “Misalnya, punya gagasan untuk membuat sekolah pertukangan di Kali Code, kita belajar bagaimana mereka membangun rumah dengan bahan yang seadanya, cara yang sederhana itu bagaimana mereka bikin sambungan kayu. Kita belajar teknik tertentu kepada mereka, tapi kita juga memberikan keterampilan tertentu kepada mereka. Nah, yang ada pertukaran dan pertukaran itu bertujuan untuk menciptakan satu kondisi yang sama,” ujar lelaki yang pernah belajar di Universitas Gajah Mada ini.

Menurut lelaki yang kini aktif di komunitas seni Punkasila ini, tradisi transmisi pengetahuan secara pertukaran dan pemberdayaan itu mungkin melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh NGO di era 1970an. Dengan membalik nalar bahwa pengetahuan itu harus datang dari lembaga pendidikan kemudian turun ke masyarakat, menjadi kegiatan penggalian pengetahuan otentik masyarakat. “Karena, jika masyarakat bisa bertahan hidup sedemikian lamanya selama ribuan tahun, mereka pasti punya pengetahuan, nah ini yang digali secara bersama-sama dengan warga,” tutup Antariksa.

 

Guru dan Metode Mengajar yang Berbeda

Oleh Rianto Irawan

 

Aditya Nugraha mungkin beruntung bisa mencintai pelajaran Fisika. Fisika yang dianggap salah satu pelajaran yamg sulit dan membosankan. Karena guru yang menyenangkan ia yang kini pengajar private fisika pun menyenangi pelajaran ini. Dan mengajarkan dengan gembira. Guru yang menyenangkan selalu menjadi impian. Guru berhadapan dengan siswa yang selalu menganggap pelajaran seperti fisika merupakan pelajaran yang membosankan.

Aditya saat itu ingin mengetahui mengapa siswa-siswanya menggambarkan apa itu Fisika.  Ia pun memberikan tugas dengan siswa menuliskan pngalamannya dalam bentuk puisi maupun cerita pendek. Hasilnya siswa mengekspesikan tentang pengalaman pelajaran fisika. Guru menjadi lebih tahu tentang pengalaman belajar si siswa.Guru hadir menjadi teman yang memberikan inspirasi dalam belajar yang menyenangkan.

Pengalaman Aditya sebagai guru itu dikisahkan dalam Focus Group Discusion 1 (FGD) yang diadakan Serrum. Mengumpulkan guru-guru kreatif dan merangkum kisah dalam menjadi guru dalam ingatan mengajar.Semua ini dilakukan Serrum sebagai suatu cara dalam merangkum pertanyaan mengapa Guru mesti kreatif?

Guru adalah cermin kreatif dalam mengajar. Bagi Agus Sampuno yang memiliki web gurukreatif.com persoalan kreatif bukan hanya milik orang seni. Guru hadir menjadikan siswa menyenangkan pelajaran. Guru ibarat Schafholding. Guru tak hanya berkaitan dengan transfer ilmu saja. Ibarat tangga guru mesti menjadi pijakan yang kuat bagi siswa dalam mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang utuh dalam belajar. Agus selalu membagi kelasnya dengan pendekatan siswa yang introvert dan ekstrovert. Dari sana guru akan mengalami dan mengetahui kepribadian anak dalam belajar. Guru diajarkan jangan langsung mengambil sikap marah saat siswa berisik. Karena ada kemampuan yag dibutuhkan bagi siswaekstrovet dalam presentasi dan public speaking yang dibutuhkan dalam pengembangan belajar.

Guru yang menyenangkan akan ditunggu siswa-siswa. Darwono yang kini pengajar di Sekolah Diponegoro mengatakan guru seperti artis. Guru bisa tampil di mana pun. Guru harus mempunyai kesan dekat dengan siswa. Filosopi pendidikan “Mengubah arang menjadi berlian” adalah hal yang dipercayai Darwono. Sayangnya, pendidikan yang dimotori kurikulum 2013 tidak banyak perubahan siginifikan. Dilihat dari buku paket, Darwono menilai konten, metode, dan pendekatan tak lengkap.

Cintra seorang guru kimia yang baru mengajar private selama tiga tahun mempunyai pengalaman guru yang mendengarkan curhat siswa-siswanya. Cintra berkisah mengenai dirinya yang mengajar anak-anak les yang susah sekali dalam pendekatan belajar. Ia pun mendengarkan curhat siswa-siswanya.Cintra pun tahu mengenai kesukaan dan ketidaksukaan muridnya dalam pelajaran. Lalu mencatatnya di kertas. Dari sana  ia belajar mengenal si siswa.

Saat mengajar PPL, Cintra menerapkan bahwa pelajaran kimia dekat dengan kehidupan sehari-hari.  Saat istirahat anak-anak yang membeli makanan, dibuatnya agar jangan membuang bungkus makanantersebut. Tetapi dibawa ke dalam kelas. Di sana Cintra menerangkan zat yang terdapat di komposisi makanan yang tertera dalam bungkus makanan tersebut.  

Handoko dalam FGD mengingatkan saat seorang guru menginginkan siswa mempunyai pola pikir Out of the box, sebetulnya gurulah yang pertama kali yang mempunyai pola pikir out of the box. Bagi Handoko Guru yang mempunyai pola pikir out of the box terbiasa dengan metode apapun. Artinya kreatifitas guru akan terbuka karena terbiasa dan menerima metode apapun. Dalam FGD 1 metode  dirasakan guru perlu dalam memecahkan persoalan dalam belajar siswa.