Sekolah Idaman_SMK Diponegoro 1 Jakarta

Arrow
Arrow
Slider

Dari Penolakan atas Full Day School hingga Keengganan Penyeragaman

Oleh Rianto Irawan

Gambar-gambar karya siswa Sekolah Talenta terpampang di dinding. Di dinding ada gambar suasana dalam laut yang penuh ikan dan kura-kura. Penuh warna dan makna. Kali ini Serrum berkunjung ke Sekolah Talenta. Sekolah Talenta merupakan sekolah yang dalam proses belajarnya banyak menggunakan metode seni rupa. Tak heran jika mengunjungi Sekoah Talenta akan ditemui gambar penuh warna di setiap temboknya.

Sekolah Talenta merupakan sekolah ketiga dalam Proyek Sekolah Idaman yang diadakan Serrum. Sekolah Talenta sendiri merupakan sekolah khusus yang di mana siswa-siswanya mengalami kesulitan belajar. Sekolah ini diselenggarakan atas prakarsa yang peduli terhadap dunia pendidikan anak-anak.

Mereka antusias mengikuti proyek Sekolah Idaman. Mengobrolkan imajinasi dan pandangan mereka mengenai sekolah. “Sekolah adalah tempat yang baik,” menurut David Hero menjawab pertanyaan dari Sigit.

Awalnya siswa mengalami kesulitan mengenai gambaran sekolah idaman yang mereka inginkan. Amy dari Serrum membantu dengan menggambarkan contoh di papan tulis mengenai sekolah idaman. Amy mencontohkan sekolah idaman adalah sekolah yang ada kolam renangnya.

Mulailah mereka berimajinasi mengenai sekolah apa yang mereka inginkan. Nicholas mengatakan dia ingin berkisah mengenai dirinya dan sekolahnya. 25 gambar dia hasilkan. Dari cerita yang bergambar itu, Nicholas secara eksplisit mengungkapkan sekolah yang ia inginkan. Nicholas bercerita mengenai pengalamnnya mendapatkan bully oleh teman di sekolah yang sebelumnya. Artinya Nicholas menginginkan sekolah No Bully. Di Sekolah Talenta ada peraturan “No Bully”. Di sekolah Talenta juga Nicholas menyukai pelajaran Matematika dan Seni Rupa. Sekolah yang baik juga menurut Nicholas tidak macet jika dilalui.

“Halaman di Sekolah Talenta bisa dijadikan tempat bermain,” kata Nicholas. Nicholas menginginkan sekolah yang halamannya luas bisa menjadi tempat bermain anak.

Sedangkan David M menginginkan sekolah memiliki dua lantai. Lantai pertama untuk digunakan kelas olahraga. Lantai dua digunakan kelas kesenian dan bermain alat musik. Di sekolah dalam imajinasinya hanya da 14 siswa untuk belajar. Mengenai seragam ia menginginkan seragam untuk upacara atau sehari-hari dan olahraga. Sekolah yang ia namakan “New School” juga mempunyai peraturan “No Bully”. Karena Bully mengakibatkan siswa tak mempunyai teman. Begitu pula yang diinginkan Vincent, di sekolahnya anak-anaknya dewasa tidak seperti anak kecil.

“Sekolah dekat dengan Kampus Atmajaya,” kata Calvin. Ia menginginkan lokasi sekolah yang ia ingikan dekat Kampus Atmajaya. Karena di sana kakaknya berkuliah.

Leonard Nathan mempunyai impian mendirikan sekolah “Garuda Fotografi School”. Sekolah ini merupakan sekolah khusus fotografi. Nathan menginginkan sekolahnya hanya berkaitan dengan fotografi saja. Di Garuda Fotografi School tidak ada pelajaran lain selain fotografi. Dalam gambarnya di kertas, Nathan menjelaskan sekolahnya ada dua ruangan. Ruangan pertama digunakan untuk kelas fotografi. Sedangkan ruangan lainnya berupa taman bebas yang luas yang dipakai untuk mencari foto. Nathan yang bercita-cita masuk universitas ini menginginkan Garuda Fotografi School hanya ada 10 guru.

“Seragam sekolah hanya batik saja,” kata Nathan.

Sekolah Talenta di mata siswa-siswanya adalah sekolah yang ideal. Sekolah Talenta menjadi cermin mereka yang menginginkan sekolah itu No Bully. Bagi Tri sebagai Kepala Sekolah mengenai pengakuan anak-anaknya itu lahir dari perasaan mereka sendiri. Sekolah menjadi tempat bermain sekaligus tempat mereka mempunyai teman.  a

Kurikulab Masuk Desa : Menelusuri Identitas Genteng Jatiwangi

cd8eb73f-ef17-4146-a324-194cea0b6b63

Oleh Rianto Irawan*

Sebuah desa memiliki identitas budaya sebagai perekat keutuhan dan kultur masyarakat di dalamnya.

Serrum memiliki kesempatan mengunjungi Desa Jatisura Jatiwangi Kabupaten Majalengka. Jatiwangi merupakan daerah yang ditetapkan Serrum sebagai laboratorium yang akan dilakukan riset Kurikulab Masuk Desa. Kurikulab Masuk Desa merupakan riset pendidikan yang dilakukan di sebuah desa demi menggali kebudayaan masyarakat lokal dan membuat kurikulum pendidikan berbasis lokal yang nantinya akan dipraktikan di sekolah-sekolah.

Jatiwangi memiliki identitas budaya berupa genteng sebagai produk lokal Jatiwangi. Warga Jatiwangi tak lepas dari tanah sebagai identitas kebudayaan. Iklila selaku mantan Kepala Dusun (Kadus) ingat betul saat demo di Majalengka kala itu. Ia menginginkan genteng sebagai identitas Jatiwangi. “Melalui persaudaraan Jatiwangi, kami sepakat bahwa genteng bukan cuma komoditas tapi juga identitas,” kata Iklila

Masyarakat Jatiwangi tak lepas kehidupannya dari tanah dan genteng. Iklila berkisah mengenai masa kecilnya bagaimana genteng menjadi bagian hidupnya. “Bekal ke sekolah cukup dua genteng, “ kata Iklila.

Begitu juga dengan Pak Apih yang pernah berkisah dengannya mengenai genteng sebagai alat ukur dalam pembelian. “Dulu beli satu sak semen dengan tiga keping genteng,” meniru ucapan Pak Apih. “Beli lima rokok pun cukup dengan satu keping genteng,” lanjutnya.

Ada pula Mandor Abah Emon yang berkisah mengenai klub bola yang didirikannya di suatu pertandingan sepak bola tahun 1993-1996 antara Burujul Kulon dan Burujul Wetan. Saat itu Mandor Abah Emon mampu mendatangkan pesepakbola dari Persib. “Satu orang pemain persib seharga satu colt diesel genteng,” kata Iklila. Sekarang, satu colt diesel seharga lima jutaan.

Jatiwangi diberkahi tanah yang baik, ibaratnya kalau tanah Jatiwangi diinjak bisa jadi genteng. Keberadaan Jebor (pabrik genteng) memiliki peran dalam pengembangan masyarakat sekitar. Dengan adanya Jebor Jatiwangi memiliki dua masa panen yakni panen padi dan panen genteng. Jebor di tahun 1980-an menjadi tempat pariwisata.

“Adapun pariwisata terhebat Jatiwangi tahun 1980 – 1995,” kata Iklila, “Wisatawan domestik beli genteng sambil bawa anaknya. Orang Garut saja sudah bangga banget, kalau ke sini suami istri naik bis nanti pulang bawa genteng. Ada rasa bangga jika ada suami istri pulang bawa genteng,” lanjut Iklila.

Jebor juga memiliki kenangan bagi masa kecil Iklila. Dia ingat betul Anak-anak bisa dibawa ke jebor untuk diayun atau bermain. Berbeda dengan Garmen yang melarang anak-anak bermain di sekitarnya. Jebor menjadi ingatan dan kenangan bagi warga Jatiwangi. Anak-anak sering menghabiskan waktunya bermain di Jebor.

Iklila percaya genteng Jatiwangi adalah identitas desanya. Suatu hari ia pernah mengobrol dengan JJ Rizal, “Ngomongin arsitektur Indonesia belum lengkap tanpa ngomongin genteng Jatiwangi,” kutip Iklila.

Genteng dan jebor adalah jejak-jejak gotong-royong di desa Jatisura, Jatiwangi ini. Hidup mesti seperti genteng, nilainya dibuat dari kegotong-royongan. Kami pun membawa fotokopi buku sejarah Desa Burujul Jatiwangi (Yayasan Al-Rifadah, 1998) karangan Agil Zainudin sebagai acuan bahan riset selanjutnya. Disebutkan bahwa usaha genteng di Jatiwangi bermula dari H.Umar bin H.Ma’ruf yang mendirikan langgar dengan atap genteng. Bermula memperbaiki langgar sehingga menjadi usaha yang turun-temurun. Diketahui genteng menjadi sendi perekonomian selain bertani.

 

*Rianto Irawan adalah salah satu periset dan penulis di Serrum. Lulusan Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta ini sekarang memegang divisi publikasi dan penerbitan pada Festival Ekstrakurikulab. Pria ini aktif dalam beberapa organisasi, salah satunya adalah Lembaga Kajian Mahasiswa di kampusnya saat itu.

Pasar Ilmu_Universitas Negeri Jakarta

ArrowArrow
Slider

Review Pasar Ilmu di Universitas Negeri Jakarta

Oleh Rianto Irawan

28 Mei 2016 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Serrum mengadakan Proyek Pasar Ilmu. Pasar Ilmu merupakan salah satu bagian dari Festival Ekstrakurikulab. Kegiatan ini bertujuan untuk mempertemukan banyak orang untuk saling bertukar pengetahuan, membuat konsensus mengenai subjek yang dibahas, tanpa ada pembedaan tegas antara pemberi dan penerima pengetahuan.

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan pengetahuan apa saja yang diminati dan ingin diberikan kepada orang lain. Pertama, menyebarkan kuisioner ke pelbagai sudut kampus A Universitas Negeri Jakarta. Kuisoner memuat dua pertanyaan yakni Apa yang ingin anda pelajari dan Jika ada kesempatan untuk membagikan ilmu, apa yang ingin anda ajarkan? Mulai dari dua pertanyaan itu Serrum mengumpulkan jawaban dari narasumber yang tersebar di sudut kampus tersebut.

 Di Perpustakaan UNJ, Nada Rahmawati (21) sedang berkumpul dnegan teman-temannya mengerjakan tugas dari dosen. Ketika mengisi kuisoner, Nada menjelaskan ia ingin mempelajari tentang kesenian yang digabung dengan nilai islami. Dan ketika mempunyai kesempatan mengajar ia ingin mengajarkan ilmu agama dengan metode yang menyenangkan. Jawaban nada sesuai dengan latar belakang jurusan yang ia ambil yakni Ilmu Agama Islam.

Berbeda dengan Nada, Sindy Elissa (19) dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini ingin sekali mempelajari design grafis. Sedangkan ia ingin sekali membagikan ilmu tentang penulisan puisi.   Pelbagai ragam ilmu dan pengetahaun yang ingin dipelajari dan diberikan kepada orang lain Serrum temukan, mulai dari memasak, bela diri, belajar bahasa, menggambar, belajar Coreldraw, cara berorganisasi dan lainnya.

Kedua, proses mempertemukan orang-orang yang beragam itu merupakan inti dari kegiatan Pasar Ilmu. Karena proses Pasar Ilmu  mencoba membangun interaksi pembelajaran berdasarkan keinginan da kebutuhan mahasiswa.

Anggara Ardinantho (24) dari Sastra Inggris ingin belajar mengambar. Ia pun dipertemukan dengan Jason Martua Manalu (21) yang akan mengajarkan cara membuat sketsa yang merupakan langkah awal dalam melukis. Sore itu Adi menjelaskan teknik sketsa wajah dengan sederhana. Anggara pun mengikuti petunjuk dan memulai melakukan sketsa secara sederhana. Jaso menjelaskan secara sederhana kesalahan awal maupun langkah awal yang baik dalam sketsa. Mereka pun saling berbagi pengalaman dalam gambar.

Pasar Ilmu menjadi proyek seni rupa yang menggambungkan kerja ilmiah dengan mempertemukan oang-orang yang ingin belajar suatu ilmu dan memberi ilmu. Kegiatan ini menjadikan pengetahuan bisa dimulai dengan mempertemukan dan mengobrolkan ilmu dengan ringan dan santai.

Hakikat dan Tujuan Sekolah

Oleh Rianto

Sekolah bisa mengundang ingatan akan kurikulum, metode, guru, dan siswa yang belajar. Obrolan mengenai sekolah ini dilakukan dengan kepala sekolah, pegiat pendidikan, pengelola sekolah. Mereka-mereka yang terlibat dalam pembentukan sebuah ruang belajar. Focus Group Discusion 2 (FGD) membuka ingatan akan ruang, rumah, dan makna belajar. Bandung Mawardi pengelola Bilik Literasi dalam suatu diskusi menilai rumah sekaligus tempat berkumpul bagi mereka yang ingin sinau. Sinau adalah belajar. Dan yang berdatangan di situ, berhak mengganggap dirinya sebagai siswa, sebagai guru, sebagai tamu, atau sebagai orang yang memiliki rumah.

                        Berawal dari ingatan-ingatan berdasarkan bacaan-bacan lawas dan biografi dari orang-orang di zaman kolonial Bandung berkisah mengenai peran pendidikan di zaman kolonial. Menurut Bandung sekolah yang dicipta sejak kedatangan orang-orang asing di Indonesia mulai mengurangi pengertian-pengertian rumah, kebermaknaan keluarga. Cara mereka hidup, mereka beramah-tamah, ketertiban struktur hidup, pengetahuan dibentuk oleh institusi, mengandung pamrih-pamrih untuk bisa menjadi pegawai kolonial. Menjadi orang yang berwawasan dunia, atau orang-orang yang nantinya akan memiliki jenjang sosial di atas.

 

Di zaman Orde Baru lagu bisa menjadi cermin pengertian sekolah. Misalnya lagu yang berlirik “Oh ibu dan ayah, selamat pagi, ku pergi ke sekolah” mengandung pengertian si anak meninggalkan rumah sebagai dalih belajar. Artinya sekolah telah menghancurkan makna rumah sebagai ruang belajar. Bandung mengungkapkan, “Kalau mereka sudah keluar dari rumah, bukan sekedar pengertian tempat, tetapi juga maknawiah, maka mereka berisiko untuk kehilangan segala hal. Kehilangan dirinya, kehilangan sejarahnya, kehilangan biografinya. Di sekolah mereka disuruh belajar, menghadapi buku pelajaran, bertemu dengan orang-orang dengan julukan bapak guru dan ibu guru”.

 

Tia yang mengelola sekolah untuk anak di bawah 12 tahun menganggap rumah sebagai tempat ideal si anak belajar. Namun sekolah juga bisa menggantikan peran rumah. Sekolah menjadi tempat belajar dan tumbuh kembang si anak. Orang tua mesti berperan aktif dalam pengembangan anak dengan hadir dan menemani anak dalam belajar. Guru menjadi teman orang tua dalam pengembangan anak. Sekolah menjadi tempat di mana anak mengeksplorasi diri dlaam pengalaman-pengalaman. Di Sekolah Kembang yang dikelola Tia pun anak-anak menyiram tanaman. Siswa-siswanya terkadang hanya memiliki pot saja di rumah. Di sekolah siswa mengenal tanaman-tanaman bersama guru. Tia menjelaskan, “Jadi belajar adalah guru dan anak-anak sama-sama ingin tahu tentang sesuatu, mencari tahu tentang sesuatu, dan berbagi tentang apa yang mereka tahu itu”. Bagi Marda sekolah adalah bagian alternatif untuk anak belajar. Anak mempunyai pilihan untuk dapat belajar dengan siapa dan di mana. Anak mempunyai kebebasan dalam hal belajar.

 

Sekolah dibentuk karena diyakini mempunyai peran. Yuli yang bergiat di sekolah Talenta yakni sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus menganggap sekolah memang dibutuhkan. Yuli dan orang tua siswa membuat sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dan kesulitan belajar. Di sekolah talenta anak-anak dibentuk sikap dan perilakunya. Mereka biasa diberikan metode visual seperti gambar dan video untuk mengenal sikap di masyarakat.

Dalam belajar pun siswa memiliki pilihan untuk mengikuti pelajaran yang disukai. Di Sekolah umum banyak sekali mata pelajaran. Sebab itu Marda mendirikan sekolah khusus seni Erudio Art of School (ESOA). Walaupun basisnya seni ESOA ingin menjadi sekolah yang menyenangkan. Membuat bahagia siswa. Ada seorang anak yang nilainya jelek di sekolah umum karena sering menggambar. Bahkan tidak lagi dibelikan buku gambar dan mereka menggambar di buku tulis. Sekolah menjadi tempat di mana siswa dikembangkan sesuai bakat dan keinginannya.

Di Bilik Literasi Bandung Mawardi menemukan hakikat belajar adalah bahagia. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan belajar dan menulis. Mereka saling berbahagia berbagi tulisan dan buku. Hakikatnya belajar adalah dengan membaca buku. Sayangnya membaca buku menjadi kegiatan yang dianggap sulit dan membosankan. Di Bilik Literasi orang-orang berbahagia dengan berkelakar menulis adalah kehormatan terakhir.

Perbincangan persoalan tujuan sekolah sepertinya memang tak sama. Pelbagai sekolah dan tempat belajar lainnya membuka ruang bagi siapa saja yang ingin merasakan makna