Sekilas Mengenai Kemunculan Sekolah Alternatif di Indonesia

Oleh Kurnia Yunita & Anggar Septiadi

 

Pelembagaan pendidikan di Indonesia paling tidak sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Kala itu, melalui kebijakan Politik Etis yang terbit pada 1901, pemerintah kolonial mulai membuka sekolah untuk masyarakat di tanah jajahannya, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga dewasa.

Sistem pendidikan ala Politik Etis dibagi atas tiga jenis, berdasar pada pembedaan ras serta status sosial masyarakat. Yaitu sekolah untuk warga Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab) serta yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi.

Pembedaan tersebut terkait dengan kelengkapan jenjang serta konten yang diberikan dalam proses pembelajaran di masing-masing sekolah. Bagi masyarakat Eropa dan Timur Asing yang tinggal di Hindia Belanda, pemerintah kolonial menyediakan sekolah dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi yang bermuatan paling mutakhir sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.

Sedangkan masyarakat pribumi, hanya boleh menyicipi pendidikan di tingkat dasar dengan konten secukupnya. Indikator kecukupan pengetahuan mereka adalah kemampuan membaca serta menulis Bahasa Belanda, sehingga ketika lulus, dapat diandalkan sebagai pekerja administrasi pemerintah kolonial.

Meski demikian, ada beberapa pribumi yang mendapat kesempatan menuntut ilmu di sekolah-sekolah warga Eropa. Kesempatan tersebut muncul lantaran orang tua mereka punya status bangsawan atau bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Status yang terakhir disebut, ditambah pengalaman pendidikan di sekolah Eropa, nantinya mampu mengubah status sosial seseorang dari rakyat jelata menjadi priyayi.

Golongan priyayi dalam masyarakat ini kemudian memainkan peranan penting dalam sejarah pendidikan di Tanah Air. Berbekal pandangan baru ihwal kemerdekaan serta luasnya ilmu pengetahuan, mereka mulai merasakan kesenjangan yang tercipta dari sistem pendidikan ala Politik Etis.

Penggolongan pendidikan berdasarkan ras dan status sosial nampak sebagai upaya melanjutkan kesenjangan yang terdapat dalam tiap kelas masyarakat. Pada tingkatan selanjutnya, kemapanan status quo lah yang dipertahankan dan pribumi akan selamanya menjadi warga terjajah di negerinya sendiri.

Dalam konteks tersebut, beberapa kaum priyayi mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme melalui jalur pendidikan. Untuk itu mereka mendirikan beberapa sekolah yang memiliki ide serta metode yang bertentangan dengan sekolah resmi pemerintah Belanda. Upaya pendirian sekolah-sekolah tersebut berikutnya akan jadi fokus perbincangan kita, sebagai awal mula berdirinya sekolah alternatif di Indonesia.

Lantas, siapa saja pionir yang melakukan perjuangan lewat jalur pendidikan? Seperti apa konsep alternatif yang mereka tawarkan di sekolah yang mereka dirikan? Apakah model sekolah mereka punya peran signifikan dalam perjuagan bangsa? Beberapa pertanyaan tersebut akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

Sekolah Alternatif: Upaya Menghancur Segala Tembok Pemisah

Pada bagian ini, kita akan merinci beberapa sekolah yang didirikan oleh tokoh pergerakan nasional di awal abad ke-20. Mari memulainya dengan SI School yang didirikan oleh Tan Malaka pada 1921 di Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-anak buruh di Semarang yang tak bisa masuk ke sekolah pemerintah kolonial.

Tan Malaka, tokoh pergerakan yang memiliki latar belakang pendidikan guru ingin anak-anak miskin mampu membekali dirinya untuk menghadapi perkembangan dunia dengan ilmu pengetahuan tapi juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari SI School adalah soal pembebasan dan kemerdekaan, mulai dari tataran individu hingga bangsa.

Dalam pembukaan brosur SI School Semarang dan Onderwijs Tan Malaka menuliskan, sekolah ini tak hanya bertujuan membuat anak menjadi pintar tapi juga hendak, “bangunkan hati merdeka sebagai manusia.” Tokoh asal Minangkabau ini menambahkan, dirinya juga bercita-cita kelak para murid tidak akan lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan.

Berangkat dari tujuan besar tersebut, Tan Malaka kemudian menyusun kurikulum pendidikan yang amat berbeda dari sekolah pemerintah saat itu. Pertama, dengan memberi senjata yang cukup untuk mencari penghidupan di dunia kemodalan, dalam poin ini Tan Malaka menjelaskan materi yang mesti didapat para murid adalah berhitung, menulis, ilmu bumi serta Bahasa Belanda.

Pemberian materi Bahasa Belanda juga menjadi satu hal yang unik dilakukan kepada para murid yang seluruhnya merupakan pribumi. Menurut Tan Malaka, Bahasa Belanda penting diajarkan sebab banyak anak pribumi yang pintar namun tak bisa berbahasa Belanda. “Padahal perlawanannya ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekai kita ajarkan betul bahasa itu,” jelas penulis buku Madilog itu.

Poin kedua dalam kurikulum SI School adalah memberi hak murid yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan. Sebagai seorang guru, Tan Malaka tahu betul betapa pentingnya bermain bagi anak-anak. Ia begitu paham bahwa anak punya hak untuk merasakan kegembiraan dengan bermain bersama sebayanya. Oleh karena itu, hak tersebut tidak boleh dibatasi oleh jam belajar di sekolah yang begitu padat.

Ketiga, menunjukkan kewajiban kelak kepada berjuta-juta kaum kromo. Hal ini diwujudkan dengan mewajibkan murid untuk senantiasa ikut serta dalam kegiatan rapat organisasi (vereniging) Sarekat Islam. Selain dapat pergaulan yang luas, kegiatan ini juga mampu mengasah kesadaran politik para siswa. Sebab dalam vereniging, seluruh anggota akan menyampaikan situasi paling baru mengenai nasib rakyat.

Pada saat itu, kualitas pendidikan SI School terbilang sangat maju sehingga dalam waktu beberapa bulan saja permintaan pembukaan SI School di beberapa daerah lain begitu banyak. Namun, upaya pemerdekaan jiwa setiap anak miskin ini tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Lewat berbagai media massa, pihaknya menulis kritik untuk SI School. Selain itu, pemerintah juga melakukan penjegalan terhadap kegiatan “pasar derma” yang dilakukan murid-murid SI School untuk mengumpulkan donasi masyarakat untuk biaya keberlangsungan sekolah mereka.

Hambatan terhadap laju roda SI School mencapai titik kulminasi ketika 1922, pemerintah kolonial memutuskan untuk memberikan hukuman pengasingan kepada Tan Malaka. Tokoh progresif yang hidup lajang hingga akhir hayatnya ini dibuang ke Belanda. Bersamaan dengan itupula, SI School mesti ditutup.

Selanjutnya, mari kita bahas sekolah lain yang punya gagasan menentang mainstream pendidikan Belanda, yakni Taman Siswa.

Suwardi Suryaningrat atau yang lebih populer dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada 1922. Penamaan sekolah yang terbuka bagi seluruh buimputera ini terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin membatasi lingkungan belajar dengan tembok-tembok yang kaku serta hubungan antara guru dan murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik sebagai istilah maupun dalam bentuk fisiknya.

Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang memiliki visi memerdekakan jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka dengan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga banyak terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk menjadikan murid sebagai subjek dan guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu prinsip yang paling terkenal diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah “guru harus menghamba kepada anak”.

Selain itu upaya pemerdekaan jiwa anak didik yang dilakukan Ki Hajar Dewantara mewujud pada tidak adanya konsep hukuman bagi para siswa yang melakukan kesalahan. Ki Hajar menekankan, hukuman tidak dapat membuat jera siswa yang bersalah justru akan menanamkan rasa dendam lantaran mereka terlanjur menanggung malu untuk dihukum di hadapan kelas. Ia mencontohkan, bagi siswa yang telat datang ke kelas, ia tak perlu dihukum untuk berdiri sepanjang pelajaran berlangsung atau menulis kesalahannya hingga puluhan kali di atas kertas, melainkan diberi tambahan waktu belajar usai kelas berakhir.

Dengan model pendidikan tersebut, jumlah peminat Taman Siswa pun meningkat dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan ini tidak membuat hati pemerintah kolonial Belanda tenang. Mereka mengkhawatirkan terdapat infiltrasi gagasan-gagasan kemerdekaan di tubuh bumiputera semakin meluas.

Untuk mencegahnya, pada 1932 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (Wildescholen Ordonantie). Dalam peraturan ini, seseorang atau lembaga yang hendak melangsungkan pendidikan mesti mendapat izin dari pemerintah. Selain itu, kegiatan pembelajaran khususnya para guru juga mesti dilaporkan secara rinci. Sehingga bila terdapat kegiatan yang melenceng, sekolah akan segera ditutup dan gurunya akan dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau membayar denda sebesar 25 gulden.

Namun, Ki Hajar Dewantara tidak bergeming melihat peraturan tersebut. Ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge untuk menentang Ordonansi Sekolah Liar dan mengancam akan melakukan pembangkangan bila ketentuan tersebut tidak dicabut.

Isi telegram tersebut kemudian diterbitkan pada majalah Timboel, 6 November 1932. Dalam telegram tersebut Ki Hajar mengatakan, “Excellentie! Ordonantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan… Bolehlah sadja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’ berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib memangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja.”

Meski ordonansi tersebut tetap dilaksanakan Taman Siswa terus berkembang ke luar Jawa Tengah. Menurut catatan Frances Souda dalam Dutch Cultures Overseas hingga September 1932 Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan perkiraan jumlah murid 11.000 orang di seluruh Jawa.

Sekolah liar ini begitu diminati lantaran keadaan ekonomi dunia pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an mengakibatkan adanya pemotongan subsidi pemerintah untuk pendidikan. Akibatnya, biaya sekolah tinggi dan banyak orang di Hindia Belanda menyekolahkan anaknya di sekolah liar.

Tokoh pergerakan lain yang memiliki gagasan perlawanan terhadap sistem persekolahan Belanda adalah Haji Agus Salim. Pimpinan Sarekat Islam ini menolak sistem pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak membuka aksesnya kepada setiap warga bumiputera dengan mendirikan sekolah rumah untuk anak-anaknya.

Moehammad Roem dalam 100 Tahun Agus Salim menjelaskan, tokoh asal Minangkabau itu memberikan pendidikan bagi anak-anaknya sedari lahir dengan menyediakan ruang belajar dan bermain di rumah tanpa dibatasi waktu. “Anak-anak itu tidak sekolah tetapi pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus,” tulis Roem.

Menurut Roem, sekolah yang didirikan oleh Belanda bagi kaum pribumi hanya bertujuan mendapatkan tenaga kerja murah serta menciptakna watak tunduk kepada segala perintah mereka. Masalah tersebut bisa dipecahkan dengan model pendidikan yang dilakukan Agus Salim. Model ini pun bukan dilaksanakan secara spontan melainkan didasarkan pada prinsip Agus Salim bahwa setiap orang harus dapat mandiri menghidupi dirinya sendiri agar dapat memimpin rakyat tanpa bantuan penjajah.

Definisi

Dari paparan historis sebelumnya, kita tak bisa memungkiri bahwa penyelenggaraan pendidikan ada di dalam konteks sosio ekonomi politik yang lebih luas baik di tingkat lokal maupun global. Sementara keberadaan sekolah mainstream (formal) pun sudah menunjukkan dirinya sebagai wadah yang akan menempatkan para peserta didiknya ke dalam struktur status quo. Sedangkan pendidikan alternatif, menawarkan beberapa cita-cita dan kemungkinan yang berbeda dari itu semua.

Beberapa kelompok yang mencoba membuat pendidikan alternatif memulai dengan memperkenalkan metode yang berbeda secara radikal dengan sekolah kebanyakan. Selain itu, mereka biasanya juga memiliki tujuan yang tidak terukur dengan ujian atau tes tertulis yang biasa dilakukan di sekolah yaitu proses pemanusiaan yang utuh.

Oleh karena itu, biasanya sekolah alternatif memfokuskan kegiatannya dalam beberapa hal seperti keterkaitan pembelajaran dengan masyarakat setempat, kesadaran untuk memelihara alam, seni dan kerajinan tangan, keterampilan hidup serta keterbukaan akses pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Pembelajaran yang dilaksanakan sesuai pengalaman, kreativitas, seluruhnya dibina secara khusus karena prinsipnya setiap anak punya kemampuan serta kebutuhan yang berbeda.

Yang terpenting, pendidikan alternatif hadir karena ada ketidakpuasan dengan sekolah-sekolah mainstream.

Menurut Sarojini Vittachi dalam Alternative Schooling in India memang tidak ada definisi yang ajeg mengenai sekolah alternatif. Namun, sebuah sekolah secara umum dapat dikategorikan sebagai non-tradisional atau non-konvensional bila memiliki satu dari beberapa ciri berikut:

  1. PENDEKATAN yang digunakan lebih individual daripada sekolah pada umumnya. Tidak ada satu model ajeg yang digunakan sepanjang pembelajaran, sehingga pendekatan yang digunakan nampak selalu menentang apa yang sudah mapan.
  2. PENGHORMATAN kepada anak didik dilakukan sesuai dengan diri mereka sendiri, bukan berdasar pada latar belakang sosial ekonomi orang tua, atau kemampuan khusus para peserta didik. Suasana belajar justru dibangun dalam lingkungan yang terintegrasi antaranak yang punya beragam kemampuan, latar belakang sosial dan ekonomi dan seringkali gabungan dari peserta didik yang usianya beragam.
  3. PEMBELAJARAN dilakukan berdasarkan pengalaman ketertarikan anak didik lalu diperdalam dengan beragam materi, bukan dilakukan menggunakan buku teks atau hanya mendengarkan kuliah dari para guru.
  4. DISIPLIN ILMU yang saling silang namun berhubungan. Melalui hal ini, anak didik akan mengetahui batas-batas pengetahuan serta memahami hubungan beragam disiplin ilmu yang dipelajari.
  5. UKURAN KELAS dijaga agar tetap kecil. Dalam sekollah alternative,idealnya guru tidak mengajar anak didik lebih dari 25-30 anak perkelas.
  6. STRUKTUR KELAS dibuat dengan fleksibilitas umur maupun subjek yang dipelajari. Pengertian kelas juga tidak selalu berarti sebuah ruang yang rapat dibatasi oleh tembok-tembok, bisa saja pembelajaran berlangsung di alam bebas.
  7. ADMINISTRASI dilaksanakan dalam suasana yang demokratis dan aturan yang fleksibel. Model ini memungkinkan adanya perputaran tanggung jawab, adanya pengambilan keputusan melalui consensus dan musyawarah untuk kebaikan institusi.
  8. EVALUASI metode-metode yang digunakan dieksplorasi dalam berbagai bentuk, tidak selamanya bersandar pada ujian konvensional.
  9. AFILIASI dengan lembaga terkenal. Sekolah-sekolah alternative biasanya berusaha untuk mengeksplorasi topic-topik serta silabus baru yang umumnya tidak berkaitan langsung dengan ujian resmi pemerintah. Meski demikian, tidak berarti beberapa sekolah itu tidak menyiapkan anak didik mereka untuk bisa mengikuti ujian resmi pemerintah untuk melengkapi proses persekolahan serta memasuki perguruan tinggi.
  10. TINGKAT KESUKSESAN bukan hanya dinilai dari penampilan anak didik di berbagai kompetisi, ujian dan beragam studi banding. Keluaran pendidikan mereka adalah gabungan antara parameter-parameter yang mampu diukur dan tidak mampu diukur.

 

Posted in Pasar Ilmu, Review and tagged , , , , , .